Oleh: Feri Latief (10508) 17 tahun yang lalu
Tubuh Bernadito Guterres tergeletak di jalan, darah mengalir deras dari kepalanya. Dia mahasiswa Satya Wacana Salatiga yang menjadi korban kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor Timur. Beberapa fotografer ada di sana, di antaranya Eddy Hasby (KOMPAS) dan John Stanmeyer (VIIPhoto). Mereka langsung mengabadikan peristiwa itu. Angel yang mereka ambil memang beda, Eddy dengan lensa lebar tapi agak jauh sedang John menggunakan lensa lebar juga dan lebih dekat. Hasilnya hampir sama, kalau foto Eddy latar bangunan dan suasana terekam sedang Jhon bermain-main dengan dengan komposisi. Foto Eddy mengisi bukunya tentang Timor Timur "Long and Winding Road EAST TIMOR (2001)". Sedang foto Jhon menghiasi cover majalah Asia Week dan diganjar World Press Photo Award.
Angle yang dipilih John Stanmeyer dan memenangkan WPP Award:
Hal ini menimbulkan pertanyaan dalam hati saya, Mengapa Stanmeyer memenangkan WPP Award sedang Eddy tidak? Pengaruh apa? Hegemoni barat? Atau memang Eddy tidak menyertakan fotonya dalam contest? Pertanyaan yang sama juga saya lontarkan untuk foto-foto tentang Tsunami Aceh yang dimenangkan oleh fotografer Barat sana bukan fotografer lokal. Padahal ada banyak kesamaan subyek yang diangkat. Misalnya foto pohon kelapa di pantai yang terputus batangnya karena gelombang Tsunami, saya pikir sama betul dengan foto yang dibuat mas Mekos dari ANTARA. Tapi kok mengapa yang menang foto yang dibuat orang Barat? Apa sih kelebihan mereka? Apa yang membuat mereka unggul? Sepintas kayaknya sama saja tuh fotonya? Tapi jangan-jangan mas Mekos tak menyertakan fotonya dalam contest?
Oleh: Sihol HS (4680) 17 tahun yang lalu
Pertanyaan yg berat oom Feri.. :D BTW, angle dan konsep kedua foto di atas mirip dgn foto yg pernah dpt award jg di WPP (thn berapa lupa..). I thought WPP photos is always original..
Oleh: Yuwono Rahman (20907) 17 tahun yang lalu
wah andai saya jurinya, pak... btw, WPP tentunya juga melihat seberapa berpengaruh fotonya ke audience.. kalo foto "naiknya" "cuma" media nasional, tentu pengaruhnya sedikit dibanding yang di muat di media internasional, palagi sebagai cover... btw, OOT dikit, barusan Time Magazine dah mengumumkan Best Photos of 2006. Website nya dah mulai bisa menerima voting disini. Fotonya John Stanmeyer yang tentang nelayan di Selat Malaka, masuk... juga seorang koresponden Reuter bernama Supri (saya kok ngga ngerti bapak ini?) tentang merapi.
Lalu apa yang membuat foto-foto mereka bernilai lebih? Ayo kita diskusikan...!
Oleh: Jessica Wuysang (28887) 17 tahun yang lalu
Setuju, warna lebih seger....tapi mungkin karna BW mewakili kedukaan? imho Kira2 BW atau color menentukan juga gak yah? U/ foto mahasiswa yang tertembak, sepertinya lebih menarik kalo foto John Stanmeyer karna dalam versi color, u/ menampilkan warna dari darah. Maaf kalau kesimpulan ini terlalu bodoh :D :D Anyway, jadi inget ucapan Oscar Motuloh saat seminar di Ptk, "Yang penting momentnya. Komposisi dan tajam tidaknya foto tersebut tidak lagi menjadi prioritas". Mungkin gitu kali yah?
kalo menurutku (cuma duga2 an nih...) WPP dah ngga lagi masalah artistik foto itu sendiri... tapi juga harus kuat dari sisi "jurnalism" nya, gimana fotonya berperngaruh ke dunia... wah saya ngomong gini kaya sok ngerti hihi.. sorry, mungkin yang ada di dunia photojurnalism bisa lebih ngerti.. misal om Arbain...
Fotonya Supri/Reuters, memang keren mas...
yap.. ada yang tahu, siapa pak Supri/Reuters ini?
Ini linknya Supri dan ini
lho? FNers juga tho? lha ayoh, kita gelontor vote untuk bapak ini.... :) (nah kan jadi subyektif juga... hehe....) Sorry.. om Feri... jadi OOT ini....
Oleh: Tundra Laksamana (24075) 17 tahun yang lalu
Mas Supri aku pernah liputan bareng di Selat Malaka, orangnya baek dan ndak sombong, sangat senang berbagi dengan fotografer muda kayak aku ...sayang foto wajah beliau emang aku ndak punya. Pokoke, enek Kumis e....tebal rek..... Menurut pandangan saya begini mas Fery. Kenapa fotografer luar lebih sering menang lomba padahal kalo masalah kualitas dan anggel (bener ndak sech tulisannya heheh) ndak jauh beda. Malah lebih bagus. Mungkin mas Eddi Hasby ndak mengirimkan karyanya pada lomba foto tersebut, karena kebanyakan fotografer kita (termasuk saya minder duluan untuk ikut iven lomba foto internasional). Namun untuk beberapa kantor berita luar negeri seperti, AP Photo, REUTERS, EPA, AFP dan lainnya akan selalu menyokong fotografernya untuk ikut lomba foto sekelas WPP. Bahkan jika si fotografer ndak sempat malah kantor berita tersebut mengikut sertakan sendiri fotonya ke lomba tersebut. Bahkan tanpa sepengtahuan di fotografer, dan setelah dikirim baru dikasih tau dan minta izin untuk dilombakan. Karena bagi setiap fotografer jurnalistik waktu itu sangat sempit. Jadi untuk ikut serta di beragam ajang lomba foto ndak akan sempat. Hal serupa pernah aku tanyakan sama mas Agus Susanto dari Kompas. Jawabnya begini " Wah aku ndak sempat mas kirim foto buat lomba,". Dan setelah mas Agus nya udah jarang turun ke lapangan karena banyak anggota Kompas yang baru barulah beliau sering ikut lomba foto. Dan betrul khan beberapa bulan belakang saya baca Mas Agus memenangkan lomba foto sperti lomba foto kontruski. Dan kebanyakan fotografer barat itu, adalah seorang freelance makanya mereka lebih banyak waktu senggang daripada pewarta foto di negeri ini yang menjadikan pekerjaanya adalah utama. Semoga bisa sedikit menjawab yach,,,Salam fotografi
Oleh: I Made Davi S.J. (53611) 17 tahun yang lalu
Profesional banget mereka yaaa..... peace
Oleh: Angger Bondan K (9321) 17 tahun yang lalu
Wah fotografer Indonesia kecolongan nih. Jangan sampai kejadian lagi nih. Foto-foto liputan Lumpur Lapindo om feri jangan sampai ngga ikutan Lomba WPP nih. :)
Oleh: Iwan Setiyawan (8421) 17 tahun yang lalu
Mas Feri, tanya Mas Ed deh, fotonya itu pernah dimuat Kompas gak? Kalau setahuku foto kayak gitu gak mungkin dimuat di Kompas, apalagi ada darah-darahnya, kalaupun dimuat mungkin gak keliatan darahnya atau di halaman BW...sedangkan syarat ikut WPP kan foto yang pernah dipublikasikan di media. Teman-teman pewarta foto di Indonesia kebanyakan jarang ikut lomba kayak WPP karena sibuk ngurus kerjaan harian dan mereka menganggap prosedur pengiriman yang rumit karena harus dikirim ke Belanda sono, bisa juga sih lewat kedutaan Belanda di Jakarta.Ga benar juga kalau pewarta foto Indonesia tidak bisa berbicara di WPP. Almarhum Kartono Riyadi bahkan pernah 2 kali mendapat penghargaan WPP untuk kategori alam dan lingkungan. Stringer Reuters di Aceh Tarmizy Harva juga pernah dapat, atau foto truk militer pengangkut bonek di Surabaya karya reporter Jawa Pos yang menang kategori spot news. Pewarta foto Indonesia yang ikut WPP biasanya hanya bisa berharap di kategori semacam feature atau nature. Kalau kategori spot news agak sulit karena saingan banyak dari daerah konflik kayak di perang Timur Tengah. selain itu, pemenang spot news di WPP selalu identik dengan peristiwa kekerasan yang berdarah-darah, suatu hal yang masih sedikit tabu bisa tampil di media di Indonesia. Padahal syarat utama ikut WPP harus pernah dipublikasikan. Yang menarik justru banyak fotografer atau hobiis fotografi di Indonesia yang mencoba ikut WPP. Saya gak tahu bagaimana mereka melengkapi persyaratan foto pernah di publikasikan media, mungkin media apa aja...kayak majalah intern. Beberapa nama yang malang-melintang di dunia Salon Foto Indonesia sejak jaman dahulu kala, sering namanya nongol di katalog sebagai peserta di WPP tiap tahun. Dengan mengirimkan karya aja setiap peserta pasti dapat katalog gratis, mungkin aja itu alasan untuk bisa dapat katalog/ buku yang biasanya dijual di TB Gramedia seharga Rp 200 ribu-Rp 300 ribu per buku.
Oleh: Pinky Mirror (6382) 17 tahun yang lalu
Antara EH dan JS (bukan Julian Sihombing lho): 1. Foto EH kemungkinan besar belum pernah dipublikasikan di media cetak. 2. Foto EH nggak dikirim untuk ikut lomba (?) 3. Setiap lomba tentu ada subyektifitas juri yang berbeda-beda. 4. Walau momen sama (dan sama2 wide angle), tapi menurut saya foto EH dan JS diatas beda banget.
Oleh: Dany Kartiono (20924) 17 tahun yang lalu
kalo saya pribadi ( yang masih bodoh ttg foto jurnalistik ) kok milih fotonya mas Edy yah :D ini Foto yang pernah di muat di media masa dan akhirnya menang World Press, karya mas So (pangilan dari mas Sholihuddin, wartawan JP ). Truk yang membawa keberuntungan :D
Oleh: Thiro Madumadani (356) 17 tahun yang lalu
Inilah dilema para Photographer Indonesia. secara Naluri dan Art untuk kualitas foto saat ini, Para Photographer Indonesia sangat mempunyai naluri.. terbukti dengan 6 Photographer indonesia mendapat WPP. kalau di bilang para photographer tidak mengirimkan foto untuk ikut lomba itu tidak mungkin! kebetulan saya udah baca beberapa Stringer indonesia terdaftar dalam halaman majalah WPP! yang jadi bingung kita dan mungkin itu terjadi, Hegemoni barat ada!! Fakta jelas kini indonesia bisa berbuat apa aja dalam bentuk apa aja! kalau masalah komposisi dan view angle "naluri kata hati indo" jelas lebih bagus.. karena saya pernah jadi guide beberapa Photographer dunia pasca Tsunami. sekali lagi ada beberapa pembahasan yang tidak layak saya ungkapkan dalam forum ini. Hanya para Editor Photo Senior yg bisa berbicara lebih luas.. SALAM f/1.8
Oleh: Muhammad Nur Abdurrahman (6107) 17 tahun yang lalu
foto sebagai sebuah karya yang dilansir ke publik memang multi-tafsir. like or dislike pasti berlaku. contohnya saja di FN, harus menyesuaikan standar yang disukai FNers, nilai dari sebuah karya-foto terkadang tergantung dari berapa banyak kenalan yang juga member di FN, atau terkesan tabu memberi nilai kurang dari tiga kalau itu foto kolega. pendapat saya soal Eddy Hasby dan John Stanmeyer mengamini Bung Iwan Setiyawan. media Indonesia masih tabu menampilkan foto korban yang darahnya menganak sungai. saya pikir: fotografer-fotografer/jurnalis-foto Indonesia jangan berkecil hati, fotografer hebat banyak kok di Indonesia: ada Kartono Riyadi, Don Hasman, Oscar Motulloh atau masih banyak lagi yang kalau ditulis, malah space -nya yang tidak cukup,... mata yang kita punya sama kok! salut buat kesadaran mas feri,... motivasi buat yang lain,... CAYOOO!!!
Oleh: Grace Utomo (10175) 17 tahun yang lalu
antara foto mas EH dan mas JS di atas...emang keliatan 'lebih' fotonya mas JS sih :)
Oleh: Noorvan Mardi Prasetyo (15316) 17 tahun yang lalu
Eddy hasby..gw juga suka...pernah liat fotonya di Kompas ada yg bagus...nice...
@Grace...emang fotonya JS...kuat banget komponya...cocok sekali dg format majalahnya..imo...:D
Oleh: Arbain Rambey (103716) 17 tahun yang lalu
Aku kasih sedikit gambaran ya.... Di Kompas, kalau ada artikel bagus kiriman pembaca, namun penulisnya belum pernah terdengar namanya, biasanya tidak dimuat. Artikel bagus baru dimuat kalau penulisnya sudah punya track record yang cukup panjang, artinya sudah lama nulis atau tulisannya sudah banyak bermunculan di mana mana. Ini untuk mencegah tulisan plagiat. Lalu saat terima fotografer baru, portfolio yang sangat bagus juga bukan jaminan. Bisa saja dia kebetulan beruntung dapat foto bagus. Jadi, di Kompas, bagus atau tidaknya seorang fotografer tidak dilihat dari portfolionya tapi dari penugasan selama setahun. Bagus atau tidak akan kelihatan dengan nyata. Apa dia angin2an, atau dia memang gigih dalam mengejar poenugasan. Panitia tentu memilih JS yang sudah lama berkibar. Mungkin, sekali lagi mungkin, mereka menganggap EH sedang beruntung berada di tempat itu. Track Record sangat menentukan kawan.....
Tundra : Jadi kantor (seperti Reuters, AP dsb) juga mendorong fotografernya untuk maju dong? Kalo media di Indo gimana ya? Iwan Setyawan : Kalo banyak batasannya seperti itu dunia fotografi jurnalistik Indonesia sulit berkembang dong? Satu lagi, WPP tidak membatasi sudah pernah dipublish atau tidak. Grace: Foto Eddy Hasby juga bisa kok jadi cover majalah dan sama kuatnya dengan foto JS. Gimana editingnya sih...nih buktiin... Bang ARB : jadi reputasi juga berpengaruh kuat ya.