Satu Tahun Fotografer.net
PADA tanggal 30 Desember 2002, sebuah situs untuk penggemar fotografi bernama Fotografer.net (http://www.fotografer.net) lahir di Yogyakarta. Tanpa gembar-gembor dan tanpa iklan, satu per satu anggota mendaftar dari seluruh dunia, walau umumnya memang orang Indonesia.
Publikasi hanya dilakukan melalui milis-milis dan antar-sesama penghobi fotografi. Setelah detik.com memberitakan kelahiran Fotografer.net (FN), dan diikuti sebuah artikel di Kompas, jumlah anggota membeludak. Ketika merancang FN, diperkirakan hanya akan ada 1.000 anggota sampai akhir tahun 2003. Ternyata jumlah itu terlampaui dalam waktu sebulan saja.
Benar-benar tidak disangka. Sekarang jumlah anggota yang terdaftar pada FN sudah 13.000 orang, walau yang aktif diperkirakan hanya sepertiganya. Memang jumlah yang tak sedikit, apalagi jika menilik jumlah foto yang sudah di-upload ke FN, yang melewati 60.000 bingkai foto dalam setahun ini. Wajar saja jika menilik jumlah rata-rata foto yang di-upload sebanyak 150-250 foto per hari. Bahkan, rekor terbanyak mencapai 360 foto di-upload dalam rentang waktu 24 jam.
Jika pada satu dua bulan pertama jumlah hit total dalam sebulan hanya berkisar angka ratusan ribu hit, maka pada bulan Oktober 2003 lalu jumlah hit ke FN lebih dari 15 juta hit sebulan.
Berbicara tentang jumlah bisa menyenangkan, bisa pula mencemaskan. Jumlah yang massal bisa mendatangkan banyak masalah, sebanyak manfaat yang menyertainya.
Sejumlah kasus terjadi
Terjadi berbagai macam kasus dan yang paling heboh terakhir adalah komentar foto yang tidak jujur dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Memang setiap anggota FN diberi kesempatan untuk memberikan komentar dan poin terhadap foto-foto yang di-upload ke FN. Demikian pula setiap foto yang di-upload ke FN berkesempatan dikomentari oleh para anggota yang lain dan mendapat poin. Sayangnya, banyak anggota yang melakukan cara-cara tidak benar demi meraih poin dan agar foto-fotonya meraih penghargaan Foto Pilihan Editor. Oknum-oknum anggota yang melakukannya "just for fun" bersembunyi di balik (yang mereka sebut) budaya Jawa, budaya Indonesia, dan budaya Asia yang sungkan-menyungkan dan ewuh-pakewuh. Ini tentu saja salah kaprah dan tidak pada tempatnya karena ditujukan hanya untuk memaklumi tingkah kekanak-kanakan seseorang yang mestinya dewasa dan rasional.
Seorang Singapura yang tinggal di Singapura dan anggota FN, yang notabene adalah juga bangsa Asia, menulis di situs blog-nya tentang FN, "They seem very generous and overly kind in their comments though with very few daring to dissect a work and give an objective critique. I’m going in there to rock the boat a little with my critiques ... and maybe post a couple of my bin shots to generate more forthright comments." Kalau diterjemahkan secara bebas, "Mereka terlihat sangat suka, tetapi terlalu halus dalam memberi komentar serta tidak berani untuk mengkritisi sebuah karya dan memberi kritik obyektif. Saya masuk ke sana (FN) untuk sedikit menghangatkan suasana … dan mengirimkan beberapa foto saya yang kurang bagus untuk memancing komentar-komentar yang lebih berani." Sementara anggota lain menulis di forum diskusi, "Perolehan angka, selayaknya kita memperoleh harta, sering membuat kita lupa bahwa kejujuran dalam komunitas ini sangat lebih berharga."
Dalam setahun ini ada banyak anggota FN yang mengalami kemajuan berarti dalam bidang fotografi. Banyak yang mengaku masih belum bisa memotret ketika mendaftar, dan setelah sekian bulan sudah menemukan cara sendiri untuk membuat foto yang bagus. Tak sedikit pula yang mulai dari pinjam-pinjam kamera, kemudian beli sendiri karena sungkan gara-gara keaktifannya upload foto ke galeri FN. Banyak juga yang repot membeli scanner karena belum punya, sementara ada juga yang direpotkan pula oleh tagihan telepon dan Internet yang membengkak. Seorang anggota menulis di forum diskusi, "Saya benar-benar ketemu sekolah yang pas: buka 24 jam, masuk, dan datang sekolah suka-suka kita."
Posisi FN di fotografi Indonesia
Penyangkalan sejumlah pihak pada FN masih kerap terdengar perihal FN sebagai representasi fotografi Indonesia. Entah atas dasar motivasi apa, yang jelas pihak-pihak itu melontarkannya tanpa disertai bukti aksi nyata memajukan fotografi Indonesia. Sebuah kritik pernah muncul tentang kualitas foto-foto terpilih di FN. Memang bisa dibilang, foto-foto pilihan FN adalah selera "dangdut", alias selera massa yang dipilih secara massal dan kerap tak disertai dengan pemahaman fotografi secara komprehensif. Sementara event fotografi terbesar di Indonesia disebut-sebut sebagai pemilihan foto-foto dengan selera "musik klasik". Memang benar demikian adanya. Tapi, selera "musik klasik" itu sedemikian dogmatisnya sehingga jika sebuah foto bermain di nada dasar selain yang dimainkan para senior pasti ditolak.
Fotografer.net memang belum mampu meningkatkan kemampuan fotografi secara individual dan intensif. Tapi, setidaknya kualitas fotografi di Indonesia bisa meningkat secara massal dan bersama-sama serta diakselerasi dalam waktu singkat. Ini semua berkat komunikasi yang berlangsung 24 jam, pameran di galeri berlangsung tujuh hari dalam seminggu, dan diskusi di forum berlangsung tanpa kantuk yang menyerang. Setiap anggota bebas datang kapan pun mereka mau, di mana saja mereka bisa mengakses Internet tanpa harus dibatasi sebuah undangan yang mensyaratkan sebuah tempat pada rentang waktu tertentu secara bersama-sama.
Fotografi bukan lagi hanya menjadi hobi atau profesi. Fotografi sudah menjadi bagian hidup kita sehari-hari. Melalui bahasa visual, fotografi menyuarakan kebebasan dan kejujuran, sekaligus pesan dan keindahan. Seperti slogan FN, "Biar Foto yang Bicara".