Perlu Rumusan
Mestinya, ada bedanya antara hidup di negeri tirani dan hidup di negara bebas. Saya kebetulan hidup di Indonesia , salah satu negara bebas – setidaknya negara ini menyebut diri demikian.
Tapi yang saya alami tadi siang agak mengesalkan.
Saya ke Cilandak Town Square (CITOS), sebuah tempat perbelanjaan berarsitektur modern, bergaya muda, berkesan nyaman dan santai dengan café dan restoran di sana sini. Saya mengantarkan anak-anak saya belanja sikat gigi sekalian berniat makan siang. Sambil menunggu waktu lapar, saya motret-motret orang orang yang lewat, untuk bahan ilustrasi saya, karena kebetulan selain sebagai arsitek saya seorang ilustrator arsitektur yang memang membutuhkan library banyak.
Entah itu diperlukan atau tidak, disekeliling tampak banyak petugas keamanan bersenjata senapan laras panjang. Beberapa diantaranya dengan mata waspada mengikuti gerak gerik saya yang sedang asyik motret.
Setelah sekian menit salah seorang diantara mereka mengikuti saya, mendekat dan bertanya: “Apakah bapak mempunyai surat ijin untuk memotret?”.
Wah, masalah, saya pikir… Lalu saya balik bertanya: “Apakah diperlukan?”. Dia jawab, “Menurut peraturan disini untuk memotret dibutuhkan ijin dari Manajemen”. Kemudian saya melihat sekeliling, tak ada tulisan atau rambu yang menunjukkan di tempat itu dilarang memotret. Jadi saya berkata: “Dimana saya harus tahu ada peraturan itu?, apakah ditempel di tiang tiang?, apakah diumumkan dikoran koran?, apakah sekarang ada peraturan baru dari pemerintah yang saya belum tahu?”
Lantas ia menjawab dengan agak keras:”Memang tidak ada pengumuman, tetapi SEKARANG ini saya memberitahukan kepada bapak bahwa ADA peraturan itu di gedung ini. Bila ingin memotret, bapak harus menemui dan meminta ijin dari Manajemen dahulu”.
Rupanya, sejak tadi ia sudah menghubungi yang lain. Makin banyak petugas mendatangi. Salah satu diantaranya ada yang tidak berpakaian seragam melainkan memakai safari hitam. Kumis melintang rapih badan besar dan membawa HT. Mungkin pimpinan bagian keamanan atau semacam itu. Ia kelihatan lebih pintar berbicara. Dia memulai dengan menggunakan ‘resep’ klasik khas ‘aparatchik’: “Maaf, saya hanya mengerjakan tugas yang memerintahkan, untuk melarang orang memotret di bangunan ini”.
Saya berkilah: “Mengapa saya tidak boleh memotret anak saya di tempat umum?”. Cepat ia menimpali:”Ooh, kalau memotret keluarga tidak apa apa, silakan saja”.
“Apakah anda akan memeriksa apakah saya ada hubungan keluarga dengan orang yang saya potret?”, saya pancing demikian.
Sambil tertawa ia menjawab: “Tentu tidak”
“Baik, jadi kalau saya memotret kerumunan orang disana itu, tidak dipermasalahkan bukan?.
“Tentu tidak, sejauh memotret orang-orang, tidak masalah”, katanya.
Lalu saya tanya lagi, “Bila saya memotret orang orang itu, tentu TIDAK MUNGKIN TIDAK, ikut terekam bagian dari bangunan, bukan?”
“Ya, tentu tidak mungkin tidak” jawabnya ragu ragu.
Lalu saya tegaskan lagi: “Jadi selama dalam potret saya ada orangnya, saya boleh memotret bukan?. Nah, saya JAMIN seluruh bagian dari potret yang saya ambil ADA orangnya, jadi boleh bukan?”.
Ia terdesak oleh kata kata saya dan terpaksa mengiyakan.
Petugas itu nampak berpikir keras bagaimana cara mematahkan argumentasi saya, tetapi belum ketemu rumusan kata katanya. Jadi ditutupinya dengan senyum-senyuman. Saya tidak memberinya kesempatan lagi. Terus saya bilang:”Pak, begini, kalau membuat peraturan harus tegas hitam dan putih. Jangan ada wilayah abu abu…”.
“Makanya, bapak kan memanfaatkan wilayah abu abu itu untuk melanggar pertaturan “, ia memprotes saya.
Saya cepat menukas: “Justru itulah, buatlah peraturan yang tegas, misalnya ada tulisan dimana-mana ‘DILARANG MEMOTRET’. Kalau saya langgar baru saya salah. Tanpa rambu, langsung menegur dan melarang, itu seperti polisi yang menilang tanpa ada rambu yang dilanggar. Tidak ada kekuatan hukumnya”.
Ia hanya berkata ‘iya iya saja’. Rupanya analogi polisi tadi termakan betul di kepalanya.
Kemudian saya katakan lagi sebagai ‘serangan’ terakhir: ” Baik Pak, sekarang sudah jelas boleh memotret DI bangunan ini, asal ADA orangnya dalam obyek potretnya. Sekarang saya akan melanjutkan memotret sebelum matahari mendung, apakah bapak mau menemani saya untuk menyaksikan bahwa SELALU ada orang dalam obyek potret saya? Bila iya, mari ikuti saya kemana saya pergi. Saya mau memotret kesana kemari. Mari ikuti saya!”.
Ia tertawa geleng geleng kepala dan menjabat tangan saya. Katanya: “Semoga pengalaman ini bisa menjadi masukan yang berharga”.
Saya melangkah pergi dengan lega sambil berpikir: “Sialan, ‘udara’ sebebas ini hendak dibatasi apakah boleh dihirup atau tidak – Sampai mesti “tanya Manajemen dulu”.. Terlalu!”.
Makin seperti lelucon politik saja. Apakah mencoblos Pemilu besok memakai tangan kanan atau tangan kiri? – Tunggu jangan diputuskan dulu, Kita tanyakan kepada ketua partai kita. Minta petunjuk dulu.
Ah, jadi kapan kita mulai meyakini konsep Kebebasan?.
Kebebasan memotret di tempat umum, perlu dirumuskan lagi lebih ketat. Apa yang boleh dan apa yang tidak. Kita yang ‘senjatanya’ kamera ini, perlu rumusan itu. Pada contoh kasus saya itu, saya kebetulan berhasil melewati dengan ‘kiat’ merelatifkan wilayah abu abu dalam adu argumentasi. Tapi di kali lain belum tentu bisa. Terutama bila mereka memakai cara yang kasar semacam merampas atau merusak kamera kita. Saat argumentasi musti diganti otot, tak banyak lagi kita bisa berkilah.