Kalau saja ada seorang pewarta foto di tanah air tak kenal nama Oscar Motuloh, hanya ada satu kata: kebangeten! Mungkin saja si photojournalist itu kurang tamasya... hehehe.
Rabu, tepatnya 18 September 2019, menjadi hari bersejarah bagi Oscar Motuloh pada khususnya, dan jagat fotografi jurnalistik Indonesia pada umumnya. Pasalnya, pada hari itu Oscar, begitu ia akrab disapa, dianugerahi gelar "Empu Ageng" untuk bidang Fotografi Jurnalistik oleh Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Bersamaan dengan penganugerahan tersebut juga dihelat pameran foto karya Oscar, yang ditajuki "Mata Waktu," yang berlangsung 18-28 September 2019. Bertindak sebagai promotor dan co-promotor dalam penganugerahaan gelar ini adalah Prof Drs Soeprapto Soedjono MFA PhD dan Dr Edial Rusli, staf pengajar pada Prodi Fotografi, Fakultas Seni Media Rekam, ISI Yogyakarta.
"Gelar Empu Ageng merupakan gelar kehormatan tertinggi sama dengan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa di ISI Yogyakarta," papar Prof Soeprapto dalam pidatonya.
Menurut Rektor ISI Yogyakarta Prof Dr M Agus Burhan M Hum, penganugerahan ini dilakukan atas karya-karya luar biasa dari Oscar beserta jasa-jasanya dalam pengembangan fotografi jurnalistik di tanah air. "Serta berbagai penemuan dan inovasi dalam kreativitasnya yang mempunyai pengaruh luas dalam kehidupan sosial dan kebudayaan," lanjutnya.
Oscar mengawali karirnya di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara pada tahun 1988 sebagai jurnalis (wartawan/pewarta), lebih tepatnya sebagai wartawan tulis.
Di zaman itu, di lembaga pers pada umumnya terdapat dikotomi; muncul istilah wartawan tulis dan wartawan foto. Ada rasa bahwa wartawan tulis lebih tinggi derajatnya ketimbang wartawan foto; seolah wartawan foto sebagai penumpang kelas dua di gerbong lembaga pers.
Dikotomi itulah yang menurut Oscar menjadikan wartawan terkotak-kotak. Ada yang digolongkan lebih rendah, ada yang sebaliknya.
Dalam kondisi semacam itu, tanpa ada angin dan badai, kata Oscar, ia dimutasi ke redaksi foto. "Wah ini dibuang. Rasa saya saat itu," ujarnya ketika menceritakan perjalanannya di dunia jurnalisme. Tentu saja ini gara-gara dikotomi yang terjadi kala itu.
Sontak ia pun mengajukan protes ke pimpinannya atas pemindahan dirinya. Namun, sang atasan dengan kalem menjelaskan bahwa ada misi atas mutasi tersebut, membangun redaksi foto yang keren.
Wajar saja jika saat itu muncul pertanyaan di benak Oscar: Bagaimana mengurusi redaksi foto sedangkan ia bukan fotografer? Tapi itu tak membuatnya berhenti atas tugas yang telah diamanatkan padanya.
Upaya terus dilakukannya, mulai dari bertanya dan belajar kepada para fotografer senior Antara yang hendak pensiun waktu itu, belajar dari kawan-kawan fotografer dari media lain, hingga membuka-buka sejumlah referensi berkait pengelolaan redaksi foto.
Lelaki kelahiran Surabaya pada 17 Agustus 1956 itu ingin darah baru mengalir di nadi redaksi foto. Ia pun mencoba merancang kurikulum pendidikan untuk pewarta foto, dengan maksud agar jiwa kewartawanan yang hakiki tertanam pada setiap pewarta foto.
Melalui berbagai upaya tersebut, secara perlahan tapi pasti mulailah terlahir pewarta foto yang lengkap. Disebut "lengkap" karena dia mampu juga menuliskan liputannya dengan baik.Secara perlahan pula dikotomi wartawan tulis dan wartawan foto mulai terkikis. Di dunia pers, menurut Oscar, "Jurnalisme citra dan sastra harus satu."
Pada tahun 1992, pemilik nama lengkap Oscar Imanuel Motuloh itu memprakarsai pendirian Galeri Fotografi Jurnalistik Antara (GFJA), yang menjadi galeri foto jurnalistik pertama dan satu-satunya di Asia Tenggara. Kini ia menjadi penanggung jawab dan kurator GFJA yang terletak di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, itu.
Pada 1998, ia juga terlibat dalam pembetukan Pewarta Foto Indonesia (PFI). Ini sebuah organisasi yang menaungi para pewarta foto tanah air.
Kiprah Oscar Motuloh di dunia fotografi terus bergulir, dari berkarya, memberi workshop dan seminar untuk kalangan kampus dan umun, berpameran, mengajar foto jurnalistik di sebuah perguruan tinggi, sampe menjadi kurator sederetan buku dan pameran foto jurnalistik. Berbagai penghargaan pun diraihnya.
Penganugerahan gelar Empu Ageng, kata Rektor ISI Yogyakarta, merupakan "pencapaian maestro pada kompetensi bidang seni yang tertinggi dan prestisius dalam tradisi dunia pendidikan tinggi di ISI Yogyakarta."
Oscar Motuloh menjadi penerima kelima atas gelar tersebut setelah Empu Ageng Cokrowasito pada 2004, Empu Ageng Edhi Sunarso pada 2010, Empu Ageng Ki Timbul Hadiprayitno pada 2011, dan Empu Ageng Abbas Alibasyah pada 2012.