Oleh: Robert Adolf Izaak,RAI (84103) 19 tahun yang lalu
Teman-teman FN, Menyambung sharing saya di artikel Di Balik Seri Foto “Suara Alam” , di forum ini saya coba sharingkan seputar foto favorit yang selalu saya upload “Suara Alam”. Melalui di forum ini saya coba mengulas sisi non teknis. :) Antara lain yang ingin saya sampaikan, menyangkut kenapa saya selalu memilih judul tersebut, bagaimana mood saya, kenapa saya ambil angel dan komposisi seperti ini, kenapa di pilih tone seperti ini, dll...dll... Kalaupun saya sharing di forum diskusi ini, bukan dilatarbelakangi saya expert, sudah 100% menguasai kamera, saya seorang seniman...dll...dll... :-SS. Sama sekali tidak. Sama seperti teman-teman lain, saya masih amatir...Saya belum layak di sebut fotografer. Kebetulan saja untuk foto ini saya suka...enjoy...sehingga terus ‘n tiada bosan saya jalani untuk meng-capture “Suara Alam” :) Tidak bisa saya sangkali andil teman saya, teman kita ini cukup kuat di balik “Suara Alam”. Tanpa bermaksud menyanjung, saya merasa berhutang budi pada beliau. Beliau yang mengajak saya pertama kali ke curug untuk hunting ; mengajari saya teknik penggunaan kamera kebetulan bersaudaraan ; memperkenalkan penggunaan filter ; dll...dll...Atas sharing beliau inilah, melalui kesempatan ini saya coba meneruskan ilmu yang di turunkan dari beliau. Thread ini di tujukan kepada teman-teman FN, khususnya pencinta, penikmat obyeklandscape ; kepada para pencinta alam, khususnya para “curug mania” :D ; serta untuk teman-teman FN Bogor & Milis FN Bogor, disertai ucapan : Terima kasih atas kebersamaan yang sudah terjalin >:D
Ke Curug pernah saya lakukan beberapa kali. Namun ke Curug pertama kali untuk motret dengan konsep slow speed, merupakan pengalaman yang tidak terlupakan. Curug Cilember adalah tempat pertama saya motret serius. Liputannya bisa di lihat. :) di sini Sejak itu lah saya jadi kecanduan motret air terjun. Kenapa saya kecanduan...? apakah saat itu bisa langsung dapat foto bagus...? Jawabannya tidak. Lalu...? :-? Pertama, saya senang nuansa alam. Kedua, saya senang dengan suara aliran air yang bagi saya sejuk, memberikan kesan damai dan tenang. Kedua, alasan di atas di dorong beban kerjaan di kantor yang cukup berart. Saya bekerja underpressure yang menyebabkan saya cukup strees. Pengalaman pertama di Cilember sedikit banyak mengurangi rasa stress saya. Karena itu saya kecanduan. :D Alasan ketiga, waktu itu saya belum puas. #-o
Judul yang saya pake di atas bukan sekedar tulis di judul lalu saya upload. Saat pertama hunting untuk di upload di FN, saya belum punya pemikiran judul apa yang saya gunakan. Sebelumnya saya pernah foto curug dengan judul “gemericik aliran air”. Saya berpikir, apakah akan saya gunakan lagi...Ragu-ragu...Kalau saya gunakan lagi, kog kurang sreg... Pelan-pelan saya berpikir seputar judul...sampai pada suatu perasaan dan imajinasi yang keluar dari benak diri...waktu saya motret saya merasa enjoy...pikiran jadi segar kembali...Saya enjoy bukan semata keceriaan, tetap juga suara aliran air yang ibarat musik merdu... :x Saya mulai ketemu judul : “Suara Air”... Pikir punya pikir, kog kurang sreg juga... Air khan bisa juga menggiring pada air sungai yang penuh polusi...air di kamar mandi misalnya... :-?ngga...ngga...bukan itu yang saya konteksnya...Saya ingin mengekspresikan, air pegunungan yang bersih, bebas polusi, dingin menyegarkan... Akhirnya, jadilah Suara Alam # 1. Walau konteks alam luas, melalui seri upload saya giring ke konsep air terjun. Jujur saja, saya pernah juga tidak konsisten. Foto dengan judul ini, Suara Alam # 2. :"> Konteksnya bukan air terjun, tapi nuansa di pinggir pantai, tepatnya Pasir Panjang – Pontianak. Sengaja tidak saya ganti sampai sekarang. Tapi akhirnya kurang sreg juga kalau konteks judul Suara Alam ke nuansa alam non air terjun. Maka selanjutnya saya memakai seri judul di atas, sampai sekarang.
Hunting pertama di Cilember sudah pasti memberikan kesan. Namun dari sisi teknis saya akui masih berantakan...mulai dari pengambilan angel, komposisi, masih berantakan...masih belum bisa berkreasi, berimajinasi...Sehingga banyak juga foto yang gagal yang memberi kesan ajal jepret aja. #-o Namun...tidak mau menampik bikikan nurani yang mengatakan, saya suka curug...Akhirnya setelah hunting pertama, bersama bebeapa teman kantor saya datang lagi ke curug. Oya, sebelumnya segera saya cari lens adapter, si LADC-52D, cari filter ND, filter cokin yang terkenal murah. Setelah peralatan teknis siap...kembali lagi ke Curug. Demikian saya lakukan berulang-ulang, baik sendirian, bersama teman kantor, atau teman-teman FN.
Meski sudah diajari teknis pengaturan kamera untuk motret slow speed, terus terang saya masih tidak puas dengan hunting di Cilember di atas. Yang bikin saya tidak puas, karena waktu itu saya belum punya lens adapter, yang untuk di kamera saya tipe LADC-52D #-o. Maklum baru sekitar sebulan saya pegang A-80. Juga saya belum punya ND. Waktu itu saya dipinjami kang Petrus. Yang terjadi untuk pegangin filter, ya pegang manual pake tangan. Tentunya dengan risiko gagal. Foto yang saya attach diambil tanggal 4 Juli 2004, tidak lama setelah hunting pertama ke Cilember. Hasil candid teman saya. Yang ingin saya perlihatkan dari foto ini, waktu itu saya belum punya ring adapter LADC-53D (ring adapter bisa dilihat di artikel Di Balik Seri Foto “Suara Alam” .
Selain faktor kelengkapan di atas, kesulitan yang lain adalah membaca komposisi...Ceritanya sih waktu itu asal jepret aja. Lihat aliran air terjun, pasang tripod, setting kecepatan, dll...dll...shoot...Namun setelah saya lihat lagi, jelek banget...saya gak suka...contoh foto di bawah ini #-o. Lokasi di Curug Cilember tanggal 4 Juli 2004. Berarti yang kedua setelah hunting pertama di atas. Dari sisi penempatan POI (aliran air) di tengah, bagi saya merupakan “kesalahan”. Kesannya monoton. ‘tul gak? :-? Saya atur white Balance tungsten. Juga, meski sudah pake speed 2.5 detik, F/8 yang merupakan bukaan maksimal, tetap saja bikin tidak puas. Namun, karena terdorong keinginan create “Suara Alam” yang lebih oke, sesuai mood saya, saya coba terus...belajar dari ketidakpuasan...terus hunting...’n saya lakukan sampai sekarang :D.
Pernah juga, walau sudah tahu settingan kamera, foto saya OE (Over Exposure). Seperti foto di bawah ini :-O :-O. Lokasi di Curug Luhur-Bogor. Diambil tanggal 10 Juli 2004. Speed 0.5 detik, sudah pake ND, diafragma f/8. Ini foto gagal...yang kalaupun di koreksi via PS, menurut saya bakalan berantakan. Saya pikir-pikir, kenapa OE...? saya ingat betul, waktu itu cuaca cerah, tidak berawan, jam menunjukkan pukul : 15.13.
Bermain di setting White Balance (WB) Beberapa kritik yang pernah masuk mengatakan foto saya tidak natural, “mosok ada air warna biru sich...yang bener aja... begitu salah satu comment yang pernah saya terima :D. Pada dasarnya saya senang tone colour, terutama warna biru, khususnya blue soft. Warna ini menyiratkan warna yang sejuk, cool, tenang, damai. Karenanya untuk foto Suara Alam coba ekspresikan dalam nuansa biru :). Akibatnya, ‘terpaksa’ saya kesampingkan dulu kondisi ‘natural’. Untuk mewujudkan itu, saya melakukan 2 cara, yaitu pake filter blue soft (saya biasanya pake Cokin Gradual Blue), atau setting white Balance IWB) TUNGSTEN. Dalam prakteknya saya jarang menggunakan Cokin Gradual Blue. Sebaliknya, lebih sering seting WB Tungsten.
Masih konsep foto di atas. Awalnya, konsep blue soft saya anggap“gagal”. Maksud hati menampilkan soft, yang muncul malah hard blue. Foto di bawah contoh foto yang saya anggap ‘gagal’ #-o.
Saya terus eksperimen dengan beberapa kali ke curug. Bahkan ke tempat yang sama sekalipun. Contoh misalnya ke Curug Cilember sampai lebih dari 5 kali, untuk bereksperimen sekaligus kangen dengan nuansa alam. Bertolak dari ‘kegagalan’ ‘n ketidakpuasan posting atas, sementara mood saya senang di warna blue soft...Saya terus eksperimen. Saya coba “perlembut” via PS...Disamping coba mematangkan nuansa biru dari hasil eksekusi kamera. Foto di bawah termasuk blue yang saya suka :). Foto 1. Saya shoot di Curug 6, Curug Cilember. Saya suka pertama blue...dari hasil pengaturan WB...Kedua, kontur air terjun yang menurut saya artistik. Tidak banyak perubahan. Aslinya bisa dilihat di foto 2. Foto ini pernah saya upload di FN. Saking saya sukanya, termasuk yang saya cetak. Juga saking sukanya, foto ini kerap saya kutak-katik lagi. Maksudnya saya ‘rapikan’ lagi. Saya tambahkan tone cyan. Namun tetap tidak mengurangi keaslian foto.
Pilihan Blue Soft tetap terus saya kembangkan. Sampai pada suatu pemotretan saya menemukan ‘formula’ yang saya saya suka, yaitu pengembangan dari Blue Soft. Dalam hal ini Blue Cyan. Foto di bawah salah satunya, yang saya ambil di Curug Cilember :). Formulanya sederhana...ND 8 x 2 + Cokin Warm (037) ; set WB Tungsten. Jadilah Blue Cyan...Konsep ini saya suka. Sementara mengenai speed yang saya gunakan, akan saya tulis terpisah di thread ini.
Konsep blue soft dan blue cyan akhirnya menjadi favorit saya. Dengan komposisi di atas (ND + Cokin Warm-037 ; set WB Tungsten), di PS saya lebih fleksibel. Saya bisa wujudkan menjadi the real blue soft atau menjadikan blue cyan. Namun perlu saya tekankan juga, pengaturan via PS tidak lah eksterm sekali. Saya ingat betul nasehat bung Kristupa, seminimal mungkin gunakan PS. Seminimal ini benar-benar saya wujudkan. Hanya sekitar 5-10% sentuhan PS. Karena pada dasarnya saya sudah dapat basic foto yang saya inginkan. Foto di bawah ini aslinya. Pertanyaannya mungkin, kalau sentuhan PS cukup minim, saya pake menu apa saja? Di artikel Di Balik Seri Foto “Suara Alam” , saya sudah tulis bahwa saya hanya bermain di croping, curve, colour balance, kontras. Saya tidak main di render, colour mix, layer, dll...dll...Kebetulan saya juga tidak jago di PS :D.
Konsep Blue Soft yang saya kembangkan dalam foto-foto “Suara Alam” tetap memperhatikan kelembutan air. Contoh di bawah foto yang saya lampirkan. Ada satu koreksi yang saya lakukan untuk foto di bawah ini. Di bebatuan saya lakukan dodge, karena rupanya gelap sekali. Nah, disini saya coba mulai perhatikan pengaturan lighting, terutama apabila dark cukup kuat di bebatuan.
Apakah lantas karena favorit blue saya banyak main di blue soft atau blue cyan? Jawabnya : ya. Tapi...sesekali saya coba eksperimen nuansa lain #:-S. Contoh foto di bawah ini. Untuk foto di bawah, formula di atas tetap saya pakai, hanya saja setting WB saya ubah. Saya pake fluorescent. Sehingga formula-nya : ND 8 + Cokin Warm ; set WB fluorescent. Via menu PS, berupa crop, curve, colour balance, kontras, jadilah foto di bawah ini. Kalau di tanya, diangka berapa saya mengatur colour balance, kontras, curve...? wah sulit ngejawabnya. Bukan rahasia perusahaan lho...wah saya ngga pernah perhatikan, saya benar-benar lupa. Saya lebih mengandalkan feeling dan mood. Nah, disinilah keasyikan saya dalam ‘cengkrama’ dengan hasil jepretan ;).
Ada juga eksperimen saya yang gagal. Contoh Suara Alam # 30. Saya anggap gagal, karena terus terang waktu itu saya coba lagi jenuh dengan blue colour, coba beralih ke warna lain...namun saya kehilangan mood. Jadilah saya kurang sreg...juga apresiasi teman-teman di FN juga kurang :(.
Saya juga pernah tampil ‘genit’ dengan lebih banyak menonjolkan tone red colour...Contoh foto di bawah ini. Saya ‘puas’ eksperimen, namun gak akan pernah saya upload. Berhubung gak sesuai mood saya ;).
Selain itu saya juga pernah mencoba tampil kembali ke konsep “natural”, dengan menekankan pada tone hijau. Bagi saya oke... Foto di bawah contohnya. Namun cuma mood saya kurang sreg aja... Kenapa kurang sreg...? itu tadi...lagi-lagi mood saya lebih prefer pada blue tone.
Main di BW...?? kenapa tidak...Untuk shoot langsung saya belum pernah. Tapi koleksi BW juga ada. Cuma tidak saya upload di FN. Why...? lagi-lagi mood saya kurang sreg kalau konsep air terjun saya di buat BW. Ini faktor selera aja. Mungkin teman lain punya selera di BW...no problem ;). Foto di bawah salah satu koleksi BW yang tidak saya upload.
Terkadang saya juga main variasi colour...saya padukan antara tone blue soft, soft ungu, seperti foto di bawah ini. Lokasi di Curug Cikaso Ujung Genteng. Sudah pasti lewat dapur PS...Foto sebelah kiri aslinya...Sebelah kanan sesudah toching PS. Setting kamera waktu itu tidak beda dengan di atas, hanya setting WB saya ubah ke fluorescent di kamera saya. Tujuan saya lakukan variasi warna karena ada imajinasi yang muncul untuk mempadukan 2 warna tersebut :). Memang berarti sudah natural lagi...Saya pikir no problem. Yang ingin saya tampilkan adalah nuansa seni...Tentu saja sesuai pemahaman saya.
Upload foto pertama saya coba main di speed 1 atau setengah detik. Saya lakukan itu karena belum banyak tahu tentang pengembangan speed. Juga kemampuan ND saya. Memang untuk foto ini cukup banyak yang suka. Alasannya dengan speed segitu ‘garis-garis’ aliran air masih terlihat. Setelah lama ber-eksperimen, coba motret, akhirnya saya kurang suka dengan speed 1 detik. Mood saya mengatakan, saya lebih prefer ke konsep aliran yang halus, meskipun itu menghilangkan ‘garis-garis’ air. Kalau teman-teman bilang, seperti kapas. Sebenarnya saya lebih mengekspresikan aliran lembut :). Kenapa saya suka aliran lembut? Barangkali ada pertanyaan seperti itu. Ha...ha...lagi-lagi kembali kepada selera. Saya suka dengan kelembutan, ketenangan. Ibarat kalau naksir wanita, saya lebih suka dengan wanita yang lembut dan halus dalam tutur kata, ke-manja-manja-an, feminin. Ketimbang yang “galak”. :)) :)) :)) Karena “selera” seperti akhirnya saya kurang suka main di 1 detik. Minimal 2 detik. Bahkan 3 detik pun jarang saya gunakan. Akibatnya juga ND saya harus tambah...otomatis harus keluar kocek lagi sekitar 150 rb untuk beli ND. Kalaupun kurang apa boleh buat saya akali dengan CPL.
Kritik yang pernah masuk ke saya sehingga menjadi “problem” saat saya dapat pertanyaan, kenapa 13 detik. khan merusak suara alam? #-o Lagi-lagi karena faktor selera. Saya senang dengan nuansa air yang lembut. Garis-garis air, apabila pake speed 1/2, 1/8, dst memang menarik, tapi saya kurang suka. Ini adalah arts, seni...kalau imajinasi saya menuntut saya ingin main di speed lambat dan kamera mampu kenapa tidak saya lakukan? Bahwa akhirnya foto menjadi seperti kapas, memang itulah yang ingin saya wujudkan... Disinilah ego diri saya kalau sudah bicara arts... :D . Kkritik, saran, dan masukkan bahwa saya pake speed terlalu lambat, saya dengarkan namun umumnya tidak saya wujudkan. Saya coba menikmati hasil jepretan sendiri, yang kemudian saya coba sharingkan konsep saya ini. Dan itulah yang saya lakukan sampai sekarang. Saking seringnya saya pake speed lambat, sampai saya punya speed favorit, yaitu 8 detik. Artinya, apabila cuaca berawan, bilamana saya bisa main di 8 detik, itu lah yang saya lakukan. Kenapa 8 detik favorit saya...? ya itu tadi, tuk mendapat efek halus, serta mengoptimalkan filter yang saya miliki.
Di posting judul : Kesulitan Awal (2), sebagai awal motret Suara Alam terus terang komposisi kurang saya perhatikan. Pokoknya lihat air terjun langsung shoot...Lama kelamaan saya kurang sreg juga dengan komposisi seperti foto di bawah ini. #-o #-o…Cendrung monoton meski saya sudah coba main di tone favorit, blue cyan.
Awal upload saya dapat masukkan agar tetap masukkan nuansa di sekitarnya. Artinya POI jangan semata di air terjun aja. Itu masukkan bagus. Contoh foto di bawah ini saya coba wujudkan dengan 2 versi tone colour.
Saya lakukan seperti saran teman. Tapi lama kelamaan saya bosan jgua. Akhirnya saya coba kembangkan konsep Suara Alam tidak melulu air terjun. “Suara Alam” tidak hanya berupa air terjun, tetapi juga aliran air kecil...Saya coba lakukan itu seperti contoh foto di bawah ini. Ini salah satu foto favorit saya, disamping blue cyan soft saya tampilkan, juga nuansa bebatuan. Saya suka banget dengan foto ini, karena bisa memasukkan salah satu komponen alam :).
Mengenai angel pengambilan...kebanyakan barangkali ambilnya berhadapan-sejajar dengan obyek. Itu juga yang saya lakukan di awal motret Suara Alam. Lama kelamaan kenapa saya tidak saya coba angel lain. Misalnya low angel maupun high angel, apabila kondisi memungkinkan. Contoh foto di bawah ini. Dengan catatan jangan maksakan diri... :-SS :-SS . Lihat medan pengambilan, bila memungkinan buat variasi dengan low angel atau high angel, saya lakukan. Contoh foto yang saya lampirkan berlokasi di Curug Cikantek dan Maribaya. Di Cikantek memang tidak ada pilihan untuk ambil selain low angel. Pun juga di Maribaya.
Untuk sekarang ini saya lagi senang dengan low angel. Angel pengambilan saya coba sedekat mungkin dengan air. Seperti foto di bawah ini. Saya pake mini tripod, di atas batu. Jarak dari air boleh dibilang hanya sejengkal tangan saya, Kira-kira 21 cm. Melalui low angel ini saya coba lakukan close up terhadap aliran air. Close up disini dengan maksud memberikan porsi terbanyak pada aliran air di frame foto :). Lagi-lagi disini saya kesampingkan dulu obyek alam di sekitarnya, unsur natural dengan tetap memilih blue cyan. Cuma hati-hati kalau main low angel...Selama tidak anti celana basah, no problem... Dan itu lah yang saya alami #-o. Pengalaman saya, Cokin Warm saya sempat jatuh kebawa air, yang kebetulan waktu itu lagi kencang-kencang-nya. Terpaksa dech keluar uang 55 rb lagi untuk beli filter. Lalu, hati-hati kamera nyemplung. Very hati-hati untuk DSLR yang sepertinya tidak memungkinan untuk pake minitripod.