Oleh: Eki Akhwan (73130) 18 tahun yang lalu
Bagian pertama artikel ini sudah dimuat beberapa bulan yang lalu. Tapi kelihatannya redaksi belum sempat memverifikasi dan memuat bagian keduanya. Padahal bagian kedua ini dikirim pada saat bersamaan dengan bagian pertama. Untuk menjawab beberapa teman yang menanyakan kelanjutan dari artikel bagian pertama, saya coba sajikan lanjutan tulisan itu di Forum ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Kritik Foto Bagian Kedua Oleh: Eki Akhwan[1] Uraian di bagian pertama tulisan ini mengisyaratkan bahwa tidak semua karya foto bisa/harus dinilai atau dikritik dengan cara yang sama. Foto evaluatif etis yang kental muatan sosial, politik, dan interpretatifnya, misalnya, akan terasa “mentah” jika dikritik dengan cara yang sama dengan foto deskriptif. Bayangkan, sebuah foto yang begitu kental pesan sosial politiknya dianggap jelek gara-gara shaky, grainy, atau komposisinya kurang pas. Teman-teman yang telah lama berkecimpung di dunia fotografi dan mengenal karya-karya Robert Capa, Henri Cartier-Bresson, Hiroji Kubota, atau Sebastiao Sagaldo, misalnya, pasti menyadari bahwa karya-karya mereka secara sepintas lalu mungkin tampak tidak sempurna secara teknis. Namun demikian, karena content-nya foto-foto itu tidak diragukan lagi menempati posisi terhormat dalam sejarah fotografi. Hal yang sama juga berlaku untuk kategori-kategori foto lain. Foto-foto evaluatif estetik yang menekankan elemen stilistik-poetik dan aspek keindahan umumnya dinilai dari dua sisi: kesempurnaan teknis dan kesempurnaan estetik. Penilaian teknis atas foto-foto jenis ini memang penting, tapi yang tidak boleh dilupakan adalah sisi poetiknya. Seperti dikemukakan di atas, sisi poetik ini tidak logis bahkan sering melawan logika. Soal warna, misalnya, bisa menjadi contoh bagaimana aspek poetik ini bermain. Kalau dalam suatu foto pemandangan yang indah kita mendapati langit berwarna ungu atau daun-daun berwarna kebiruan, reaksi orang awam umumnya akan mengatakan bahwa foto itu tidak sempurna karena warna langitnya atau daunya “tidak natural” (kajian tentang warna ini insyaallah akan saya bahas dalam tulisan lain). Warna dan tone adalah salah satu aspek poetik yang sering dimainkan dalam foto jenis ini. Oleh karena itu, natural atau tidak natural tidak bisa dipersoalkan dalam komposisi jenis ini. Kalau sang fotografer menganggap bahwa langit ungu adalah bagian dari visualisasi poetiknya, maka warna itu sah-sah saja. Pengamatan saya selama kurang lebih empat bulan sejak bergabung dengan FN menunjukkan bahwa sebagian besar anggota FN masih terpaku secara dogmatis pada aspek-aspek teknis dasar semata dalam mengkritik sebuah foto. Komentar-komentar seperti, “warnanya tidak natural nih.” Atau, “BG-nya terlalu rame. Diblur aja!” tanpa memperhatikan jenis foto apa yang sedang dikomentari. Pem-bokeh-an (blurring) latar belakang memang diperlukan untuk jenis-jenis foto tertentu. Tapi untuk foto yang konteksnya diperlukan untuk memperkuat pesan seperti foto eksplanatif, maka pembokehan BG justru bisa merusak nilai foto. Komentar lain seperti “POI-nya terlalu kecil nih, dikrop aja bagian atasnya” untuk foto-foto poetik yang melawan logika dan aturan baku komposisi menunjukkan bahwa si pemberi komentar belum bisa membaca atau tergesa-gesa membuat simpulan tentang foto yang ada di hadapannya. Komentar-komentar yang kurang matang seperti di atas mungkin bisa dimaklumi karena anggota FN sangat beragam tingkat pengetahuan fotografi dan seleranya. Aturan-aturan baku komposisi umumnya memang menjadi salah satu hal yang pertama dipelajari oleh para peminat fotografi. Sayangnya, para peminat fotografi ini banyak yang hanya berhenti sampai di sini dalam proses belajarnya sehingga mereka menjadi dogmatis dan tidak berkembang. Hal lain yang menurut pengamatan saya turut berperan dalam menciptakan kejumudan (dogmatisme) ini adalah kriteria yang dipatok oleh sistem skoring FN sendiri yang guideline-nya menekankan aspek teknis yang dikaitkan dengan keindahan dalam menilai sebuah foto. Meskipun sahih-sahih saja sebagai kriteria umum, guideline seperti ini kurang memberi tempat pada keragaman jenis foto dan lebih tepat diterapkan untuk foto-foto salon yang poetik. Padahal tidak semua foto yang dimuat di FN masuk dalam kategori foto poetik ini. Persoalan kritik foto memang tidak sederhana, namun juga tidak terlalu pelik. Semua bisa dipelajari. Yang diperlukan adalah kejelian persepsi dan keterbukaan rasa untuk “berkomunikasi” secara jujur dengan foto yang ada di hadapan kita sehingga kita bisa menangkap hal-hal yang berada di bawah permukaan wujud foto yang akan kita kritik. Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberi sedikit pencerahan untuk kemajuan kita bersama.
Oleh: Putra Djohan (12182) 18 tahun yang lalu
Affandi melukis sebuah lukisan dan menurut beliau lukisan itu sangat jelek...tapi kenapa semua orang "berusaha" mengatakan itu masterpiece? adalah pertanyaan yang selalu di kepala sejak saya SD......dan belum terjawab, at least...saya belum menemukan jawaban yang tepat kita berkarya...ada kritikan adan masukan.....sesuai atau tidak sesuai...diterima aja :) masalah beginian susah untuk dibahas dan mempertemukan sebuah kesimpulan :) "feel.....taste" sangat sulit untuk "dipersamakan" :)
Oleh: Dian Rosita (2450) 18 tahun yang lalu
effendi sebelum melukis abstrak pastinya belajar dulu melukis naturalis, sebelum melukis bebek hanya dengan 2 atau 3 garis, tentunya melukis bebek dulu sebagaimana layaknya bebek yang sering kita lihat. Kalo segampang itu melukis abstrak nanti semua orang bisa jd seniman instant hehe. Kalo mau menilai sebuah foto itu baik atau jelek, bernilai atau tidak bernilai, tentu perlu tau dulu gimana cara membuat foto yang baik dan bernilai, sehingga tau bagaimana menilainya. Makanya perlu yang namanya kurator untuk menilai foto layak pajang di gallery atau tidak, misalnya Walaupun taste dan selera merupakan bagian dari penilaian, tp ga lucu juga terus berdalih dengan kata selera sementara jujur saja seringkali fotonya memang masih kurang. Anyway, foto bagus itu seharusnya universal, karena bisa diterima oleh perasaan dan logika.
Oleh: Rochim Hadisantosa (104553) 18 tahun yang lalu
Effendi itu siapanya pelukis Affandi ya? :-? Eki, setuju menilai foto jangan dogmatis..
Oleh: Kristianto Gunawan T (145148) 18 tahun yang lalu
Tul sekalee ... Tita, dapat diterima perasaan dan logika, itu melatih otak kiri maupun otak kanan bekerja .... :)
Oleh: Judhi Prasetyo. (38908) 18 tahun yang lalu
Kalau skornya kecil dan belum FPE lalu fotonya blur pasti dikritik abis, kalau udah skornya tinggi trus fotonya blur dibilang artistik :D Kalau newbie ngritik cuma sebaris pasti diomelin, kalau pakar komentar cuma 3 kata, ya udah dimaklumi aza.. Nilai lagiii... komentar lagiii... :))
Oleh: Johannes P. Kusumo, barron (2861) 18 tahun yang lalu
PJ:" ...Affandi melukis sebuah lukisan dan menurut beliau lukisan itu sangat jelek...tapi kenapa semua orang "berusaha" mengatakan itu masterpiece? adalah pertanyaan yang selalu di kepala sejak saya SD......dan belum terjawab, at least...saya belum menemukan jawaban yang tepat ..." Agree indeed ...
Oleh: Dharma Saputra (3255) 18 tahun yang lalu
huehehe, kalo pendapat saya, ini sifat dasar manusia. Pada dasarnya semua itu berdasarkan pengakuan saja, jika ada 1 orang yang diakui oleh sekelompok orang, maka mayoritas orang akan melakukan yang sama, jadi misal ada 1orang yg dianggap jawara desa, dan diakui oleh sekelompok orang di desa itu yah wis, orang satu desa bisa ngikut bilang bahwa dia itu jawara dan jarang ada orang yang berani mengkritik tidak tanduk sang jawara :D. dan jika sang jawara bilang kalau ada orang lain yg jawara atau lebih jawara dari dia, so pasti pengikutnya juga bilang kalo orang tersebut sebagai jawaranya sang jawara :D Jadi kalau dari sisi seni, jika ada seorang pakar yang bilang bahwa lukisan A itu bagus, pasti pengikut si pakar itu bilang lukisan A itu bagus, padahal mungkin lukisan A itu ngak jauh berbeda dengan lukisan lain yg dibuat oleh orang lain yang kurang beruntung :) Yah, jadi kesimpulannya selain pengakuan, keberuntungan juga menjadi salah satu faktor penting :)
Oleh: Yoga Raharja (38350) 18 tahun yang lalu
Photographie adalah bagian dari seni... Yang namanya apresiasi seni, pasti ada yang suka dan gak suka... Itu semua berbalik pada rasa dari masing-masing pribadi. Namun satu hal yang penting adalah, janganlah kita membohongi "rasa" kita, dengan mengatakan satu karya seni itu bagus hanya karena yang lain mengatakan karya itu bagus.. Marilah kita menjadi diri kita apa adanya.. belajar untuk berani mengungkapkan apa yang kita rasa secara jujur.. Terkadang kita memang musti keluar dari pemikiran yang dilandaskan pada tehnik2 dasar fotografi yang berlaku pada saat mengapresiasi suatu karya foto.. kalo itu bisa dilakukan, kita akan dapat ikut hanyut dalam merasakan indahnya suatu karya, seperti yang diinginkan sang fotografer.. PEACE !!
Oleh: Muhammad Ainun Naim (1063) 18 tahun yang lalu
memenag tidak gampang menyampaikan "sesuatu" lewat foto,apalagi yang penyampaiannya lewat simbol2 dan tanda2 secara visual melalui media foto yang hanya 2 dimensi.