Oleh: Lukman Anas (33709) 15 tahun yang lalu
Domba Garut yang juga terkenal dengan sebutan domba adu adalah hasil persilangan dari domba Merino dengan domba lokal Indonesia dari daerah Jawa Barat. Hasilnya sangat memuaskan, dimana ukuran tubuh domba persilangan tersebut jauh labih besar daripada domba lokal. Selain harganya yang lebih tinggi, domba tersebut mempunyai kemampuan bertarung yang baik. Kompetisi adu domba adalah warisan tradisional dari daerah Jawa Barat. Kemudian masyarakat Jawa Barat mencoba untuk melestarikan budaya adu domba tersebut. Permainan rakyat ini diketahui muncul sejak tahun 1931 – 1932 di kampung Cibuluh Garut. Konon menurut cerita, orang pertama yang telah berhasil mengembangkan domba-domba berkualitas baik untuk pamidangan di Garut adalah Kangjeng Dalem Suryakarta Logawa dengan teman seperguruannya yang bernama H. Soleh. Kangjeng Dalem Suryakarta Logawa, seorang Bupati Garut yang telah memimpin pada periode 1915-1929, mempunyai kegemaran berburu dan memelihara domba. H. Soleh yang tinggal di Cibuluh juga gemar memelihara domba. Saat itu perkampungan Cibuluh belum padat seperti sekarang ini, serta keadaan sekitarnya masih berupa hutan belantara. Kangjeng Dalem Suryakarta Logawa sering berkunjung ke sana, selain untuk berburu juga mengunjungi sahabatnya itu. Dalam tiap kunjungannya, beliau memperhatikan pula cara sahabatnya menangani domba-domba peliharaannya, mulai dari pengandangan, pemberian makanan sampai pemilihan bibit. Adapun cara pemeliharaan yang dilakukan oleh H. Soleh saat itu dinilainya kurang baik. Misalnya, domba jantan dan betina ditempatkan dalam satu kandang, pemberian makanan (rumput) hanya pada saat digembalakan, dan tidak ada seleksi dalam mengawinkan domba. Pada suatu hari, ketika sedang mengunjungi H. Soleh, Kangjeng Dalem Suryakarta Logawa melihat seekor domba betina bertanduk lebih bagus dibandingkan dengan yang lainnya. Ketika mengetahui bahwa domba yang akan meneruskan keturunannya adalah domba jantan biasa seperti pada umumnya, Kangjeng Dalem Suryakarta Logawa yang kebetulan memiliki domba jantan bernama Si Dewa, mengusulkan domba H. Soleh yang dipanggil Si Lenjang dikawinkan dengan Si Dewa. Ide ini muncul mengingat Si Dewa memiliki nilai lebih daripada domba-domba Cibuluh, maka dianggap dapat meneruskan keturunan yang lebih baik. Disamping itu, dengan mengawinkannya dengan Si Dewa, kelebihan Si Lenjang dapat berkelanjutan pada keturunannya. Selanjutnya, Kangjeng Dalem Suryakarta Logawa membawa Si Dewa ke Kampung Cibuluh untuk dikawinkan dengan Si Lenjang. Beberapa bulan kemudian, lahir domba jantan dan betina. Domba jantan diberi nama Si Toblo, sedangkan yang betina tidak diberi nama. Selain itu dengan Si Lenjang, Si Dewa dikawinkan pula dengan domba betina lain sehingga keturunannya bertambah banyak. Ketertarikan masyarakat akan kegagahan dan kelincahan domba sejak adanya Si Dewa, telah memotivasi para penggemar domba untuk mengadakan hiburan rakyat berupa pertandingan domba yang disebut Ngaben, baik di Cibuluh-Garut maupun di Sumedang. Khusus di Cibuluh, pernah diabenkan anak Si Dewa melawan anak Si Toblo dari Sumedang yang telah dibeli oleh seorang peternak Cibuluh. Kekuatan mereka seimbang sehingga tidak ada yang menang atau kalah. Hal ini tentu saja mengundang rasa penasaran para penggemar domba adu. Di antaranya, di Bunisari ada seorang bernama Aki Intasik yang ingin memiliki domba untuk menandingi kedua domba tersebut. Caranya dengan membeli Si Toblo dari Sumedang dan mengawinkannya dengan domba betina miliknya yang dipercayakan pemeliharaannya kepada orang lain, yaitu Mang Atori di Cimanyar. Usahanya tersebut tidak sia-sia karena dari perkawinan tersebut lahir dua pejantan, yaitu Si Joki dan Si Jonas. Sebelum dibawa pulang oleh Aki Intasik, Si Jonas dipertahankan oleh Mang Atori karena merasa berhak atas domba tersebut yang telah dipeliharanya. Namun akhirnya, Si Jonas dibeli oleh Aki Intasik. Meskipun kedua domba tersebut secara fisik memenuhi syarat sebagai domba aduan, ada kelebihan lain pada Si Joki, yaitu memiliki tanduk “cerahâ€. Hal ini membuat Si Joki dijual ke Cikeris/Cikandang untuk dikembangbiakkan. Namun sebelum dijual, baik Si Joki maupun Si jonas, dikawinkan dengan domba-domba betina setempat (Bunisari) sampai beranak-pinak. Seperti halnya induknya, keturunan Si Joki dan Si Jonas, memiliki kehebatan luar biasa sebagai domba aduan. Baik keturunan Si Joki dari Cikeris maupun keturunan Si Toblo dari Sumedang, semuanya diakui sebagai domba Garut karena bibitnya berasal dari Cibuluh. Mereka merupakan potensi domba adu di Kabupaten Garut yang telah turut mengangkat permainan rakyat khas Jawa Barat ini tidak saja ke tingkat provinsi, tetapi juga ke tingkat nasional melalui kontes-kontes sejak tahun 1985 di Cikeris hingga sekarang. Sebagai hewan yang dipersiapkan untuk bertanding, domba aduan memiliki kelebihan khusus dibandingkan dengan domba biasa. Hal ini berkat adanya kecakapan dalam pemeliharaan dan pemilihan bibit yang pada umumnya diperoleh secara turun-temurun. Untuk menentukan domba yang akan dijadikan sebagai hewan adu, terlebih dahulu harus mengetahui berbagai persyaratannya, meliputi keadaan fisik, pemeliharaan, dan pantangan-pantangannya. EOS 400D 18-55mm 3.5-5.6 50mm