Hak cipta karya foto ada pada fotografer dan dilindungi oleh undang-undang.
Dhoni Setiawan (17957)
Date Time Original: 2010:12:12 10:46:48nISO Speed Ratings: 200 |nLalu bocah laki-laki kecil itu menghampiri tukang tatto non permanen di terowongan subway, sementara ibunya nan cantik masih harus membayar topeng karet spiderman yang langsung dikenakan Si Bocah, terikat dan menempel erat di wajah gembilnya. Kemudian Si Ibu menghampiri putranya, jongkok, tersenyum, dan berkata lembut, “Hayuk, tattonya lain kali saja, ya. Bawa bunga ini, ayah sudah menunggu.â€nnBeranjaklah mereka, Si Bocah berlarian kecil sambil menuntun kakinya menyusuri paving path sepanjang selasar terowongan, yang dikhususkan untuk membantu pergerakan mereka yang kurang beruntung dengan anugerah matanya. Kemudian ia terjatuh, bangun lagi, lalu menoleh ke Sang Ibu. Bunga itu erat dipeluknya. Senyum malu tersungging di bibirnya, pipinya memerah. Ekspresi matanya mencoba meminta maaf atas keteledorannya. Ibunya tersenyum lepas, “Ayahmu akan sangat bangga bertemu dan melihat polahmu,†gumamnya.nn***nnTujuh sampai sepuluh ekor merpati terbang menukik dari arah selatan. Mereka mencoba berkumpul untuk menikmati santap siang remah roti dan jagung bersama ratusan saudara-saudara mereka yang sudah berpesta duluan di pelataran seputaran simpang empat pusat kota Impyan. Ikatan persaudaraan merpati itu selalu menarik perhatian orang-orang yang sedang beraktivitas di sekitar simpang empat itu. Entah yang sekedar lewat, yang sekedar menunggu lawan temu janji di bawah pepohonan sisi barat, yang sedang beristirahat paska lari siang atau sepedaan, atau yang sedang menikmati waktu istirahat siang paruh hari kerja sambil menikmati gado-gado di bawah payung-payung kanopi kecil. Banyak dari orang-orang itu yang sengaja datang untuk meringankan pikiran sembari berbagi remah roti dan jagung propertinya dengan merpati-merpati di sana.nnDi pusat perempatan, kolam besar dengan tiga pilar air pancuran setinggi tujuh meter seolah memancang kokoh ke bumi. Dan hampir setiap sore, petang, bahkan sampai jauh malam, para fotografer ragam level pengalaman berdatangan di tempat itu. Hunting slow speed dan HDR, tutur sebagian dari mereka setiap ada yang bertanya memotret apa. Dan siang itu, ibu cantik dengan anak lelakinya tadi melintasi perempatan itu, di dalam taksi, menuju ke utara, ke arah pantai pasir putih sekitar lima belas kilometer dari simpang jalan itu. Si Bocah melambaikan tangannya sambil berteriak, “Telbang! Telbang! Melpatiii!! Hush husshhhh!! Telbang!!â€nn—nnSesampai di pantai, tiga paman Si Bocah sudah di sana, menanti mereka. Dua di antaranya berasal dari luar kota. Keluarga besar tersebut memang berkumpul di pantai pasir putih itu setahun sekali. Setelah bersalaman, berpelukan, dan saling bertukar kabar keluarga, mereka berjalan bersama menyusuri setapak di antara rerimbunan semak-semak berseling pandan. Tanah berpasir itu masih basah. Sedari pagi hujan deras di pantai itu, sama seperti ketika mereka berkumpul tahun sebelumnya. Evaporasi resapan air hujan siang itu memperkuat aroma pandan pantai, merebak dan tergulung sepoi angin laut yang membuat hidung peka mencium bau laut berkadar garam pekat. Tercium sesaat, hilang kemudian berganti aroma pandan, muncul kembali, berganti lagi, demikian hampir berulang ritmik. Harmoni aroma bernuansa rindu dan kesetiaan silih berganti.nnSi Bocah sontak berlari mendahului menuju ujung setapak, bongkahan karang-karang seukuran rumah dua lantai di bibir pantai berpasir putih. Karang-karang nan kokoh tampak hitam dimainkan gradasi vertikal bayangannya sendiri, di saat pemancar energi Penguasa Alam berada delapan derajat lewat dari posisi atas kepala. Si Bocah berteriak girang, larinya makin kencang. Sekian orang dewasa yang mengekor di belakangnya tertawa lepas melihat tingkahnya.nnSesaat duapuluh meter sebelum bongkah-bongkah karang, Si Bocah mengangkat tinggi-tinggi tiga tangkai bunga lilly. Sontak ia menghentikan langkahnya. Para orang dewasa terdiam, terpaku, namun tersenyum melihatnya. Wajah gembil Si Bocah penuh peluh, bajunya basah, ia terengah-engah, tersenyum lebar, lalu berujar lantang, “Ayah! Aku sampai, Ayah! Ibu dan paman-pamanku belsamaku. Lihat Ayah! Ini buat Ayah.†Kemudian ia melangkah pasti menghampiri ayahnya. Diletakkannya ikatan bunga Lily itu di atas sebuah batu hitam di depannya, bernaung bayang bongkah karang.nn“Seorang suami, ayah, dan saudara tercinta,†terpahat di batu itu.
13 tahun yang lalu
nice BW....perspektifnya bagus bgt...
abstrak yang kerennnnnnnn....................salam
nice konsep... lanjut,.....salam dari SERUYAN
sip,......hade capturenya,....ok ceritanya,....salam
so soft... aku suka narasi dan storynya ;)
abstraknya keren,.., storynya jempolan..., salam hangat jabat erat.klik.
dari realitas yang simpel menuju cerita yang panjang terpilin, lompatan ide dan ngabstrak bener. Salam abstrak
abstraksinya kerennn sekali, great POI great photo capture, mas.............. salam hangat....
Artistik...abstrak yang menawan.
mantab abstraknya, storynya keren,salam PLAT N
panjaaaaaaaaaaaang beneeeeeeeeeeerr............memori daun pisang nih hehehe........abstraknya maknyuuussssssssssssss.........salam
abstraknya bikin terhipnotis...salamjepret