Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Suryo Wibowo (25088)    21 tahun yang lalu

  0 

hallo semua rekan FN,
daripada pusing masalah nilai, mari kita bersama² diskusi tentang seni, sebagai lanjutan sebuah topik lama yang linksnya dikirim seorang rekan FN.

Topik lama ini ditulis oleh Agustua Fajarmon pada tanggal 30 Maret 2003 dan diberi judul Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya
Tulisan tersebut terus terang menendang saya dan memicu saya untuk lebih dalam lagi memikirkan tentang fotografi dan saya. Hanya saja saya lihat topik lama ini tidak begitu banyak dikomentari/ditanggapi oleh member² FN lainnya, walaupun telah banyak dilihat.
Saya copy pastekan tulisan rekan Agustua Fajarmon ini di sini, supaya bisa langsung dibaca lagi.



Agustua Fajarmon menulis:
Seorang tukang foto keliling, tinggi kurus, berambut kribo dan berkacamata tebal, pernah berujar di telinga saya. “elu pengen bisa bikin foto bagus? elu kudu tau dulu foto bagus itu yang kaya apa!” Ujarnya sambil melihat kepinggang kanannya.

Sebuah alat penyerantara yang tergantung disitu berbunyi…tii..ditt...tii…diitt..(masih ada gak yah tuh barang?). Peristiwa ini terjadi dahulu, disaat roll film pertama saya pun belumlah saya habiskan.

Sejak hari itu, pertanyaan atau pernyataan tersebut terus menggantung di benak saya, hingga hampir setahun lamanya. Saya terus mengembara dari satu galeri ke galeri yang lain, mengumpulkan majalah-majalah bekas, dan memperhatikan poster-poster di jalanan. Pokoknya setiap ada foto entah dimana atau di media apa saja, saya akan berusaha mengamatinya dan bertanya dalam hati,”Foto ini apanya yang bagus, yah…? Kok bisa dipasang disini?”.

Terkadang saya bingung ketika menemukan sebuah karya/foto yang saya anggap sangatlah jelek, tapi dipamerkan di sebuah galeri hebat. Anehnya lagi, sang fotografer, juga seorang kampiun di dunia fotografi. Walau tak jarang juga, saya menemukan foto yang membuat saya berdecak kagum. Kalau dipersentasikan, selama masa pencarian saya terhadap jawaban tersebut (makna foto bagus) kira kira 50 banding 50, antara foto yang saya anggap JELEK dan foto yang saya anggap BAGUS. Tapi pada kenyataannya, semua foto-foto tersebut (yang kadang saya anggap jelek) adalah foto yang “terpakai”.

Lalu mulai dari situ pulalah, saya mengalami semacam evolusi dalam cara menjepretkan rana kamera dan memilih objek. Pada fase pertama, saya menyebutnya sebagai fase EKSTRIM, karena saya begitu mengagumi keindahan dan sekaligus ketidakindahan (menurut saya waktu itu, inilah objek-objek foto yang paling bagus). Ya….langit biru, matahari tenggelam, wanita cantik, taman asri, danau tenang, pemukiman kumuh, kali berlimbah, pengemis, tumpukan sampah, bangunan lapuk dan lain sebagainya

Lalu di kemudian bulan, saya bertemu kembali dengan si tukang foto keliling tadi. Dengan bangga saya menyodorkan “foto-foto bagus”, hasil jerih payah hunting sekian lama padanya, tentu dengan harapan akan mendapat pujian. Tidak terduga, si tukang foto keliling ini hanya melihat sampai halaman ke 3 dari bundel port folio saya yang berhalaman hampir 100 lembar.

Dia lalu menutup dan sembari mengembalikan bundel tersebut dia berkata,”Apa istimewanya foto-foto lu ini…?, sunset dengan warna warni di langit itu kan emang udah indah, anak kecil mandi di kali berbusa itu, kan emang udah menarik, cewe yang pakai bikini itu kan emang juga udah cantik dan sexy… trus lu tampilin lagi semuanya di foto lu, seperti aslinya. Sama aja kaya nerjemahin novel bahasa inggris ke bahasa Indonesia kan?!…lu tinggal beli kamus lengkap, selesai. Kreatif dong!, ciptain hal biasa jadi menarik, dan hal menarik jadi unik, jangan cuman ngerekam aje!”.

Sekali lagi, tepat saat dia mengakhiri celotehannya, penyerantara di pinggangnya kembali berbunyi….ttiiit…diittt…..tiii…dddiittt. lalu dia pamit, meninggalkan saya yang masih tercenung dengan sebuah kontemplasi baru lagi menyemak di dasar benak

Berbekal kontemplasi baru tadi, saya sampai pada fase kedua, saya menyebutnya fase BERPIKIR. Pada fase ini saya tidak lagi tertarik dengan objek-objek seperti pada fase ekstrim. Saya lebih konsentrasi untuk bereksplorasi dengan teknis dasar fotografi (fungsi diafragma, shutter speed, efek lensa, filter dll) yang sudah mulai saya mengerti dan kuasai. Sedangkan objek yg saya pilih jadi lebih kepada benda-benda mati, dengan konsentrasi grafis.

Seorang tukang foto keliling lainnya, yang berjanggut uban dan pernah didiskualifikasi dari sebuah lomba foto bergengsi di negri ini, karena diperdebatkan melakukan plagiat, menyebut konsentrasi saya tersebut dengan ELEMEN DISAIN. Pada fase ini pulalah saya mendapat satu kesempatan untuk memamerkan beberapa karya/foto dalam sebuah pameran bersama.

Belum selesai gemuruh kebanggaan di dada saya, karena akhirnya beberapa karya/foto saya terpublikasikan, kembali saya bertemu dengan si tukang foto keliling yang kribo tadi. Didalam ruang pamer tersebut. Dengan sedikit deg deg-an, saya menghampirinya dan memintanya melihat ke salah satu sekat, dimana karya/foto saya digantungkan.

Saya mengambil posisi tepat disampingnya, ketika dia memperhatikan karya/foto saya tersebut. Benak saya penuh dengan pertanyaan, apa kira kira komentar dari si tukang foto itu. Dan seketika saya melambung saat dia berujar,”bagus…!”.

Saya langsung berpikir saat itu bahwa saya telah berhasil, pencarian saya telah berakhir….tapi, hanya sekian detik dari ucapan atau pujiannya itu, kembali dia berujar,”Tapi dimana muatan realitasnya??, kreatifitas tanpa realitas sama seperti susunan abjad dari A-Z. Bermacam macam kemahiran orang untuk menghias dan menciptakan karakter huruf yang indah. Tapi se-kreatif apa pun si pembuat huruf itu, kalau toh, ntar dia cuman menyusun urutan abjad tersebut dari A-Z doang,….tanpa menjadikannya sebuah kalimat yang berarti….gak ada nilainya itu”

Saya terdiam beberapa saat. Entah kenapa,yang terlintas dalam benak saya ketika dia menyebutkan kata “realitas” tadi, adalah JURNALISTIK. Dan saat itu pula saya sadar, bahwa si tukang foto keliling tadi sudah keluar dari ruang pamer

Kembali saya merenungi lagi ucapan si tukang foto keliling tadi, dan akhirnya saya mengambil keputusan yang membawa saya pada fase ke tiga, yaitu fase BERPIKIR CEPAT. Saya mulai menyimpan segala macam filter, mengganti lensa fix saya dengan lensa zoom (wide dan tele), menjual tripod dan menggantinya dengan sebuah Flash

Dan mulailah saya melangkahkan kaki ke aspal terik jurnalistik fotografi. Berbaur dengan gas air mata, desingan batu yg lewat di depan lensa, konsentrasi terganggu hardikan hardikan, ruang berpendingin nan sejuk dan makanan kelas hotel berbintang saat press confrence, dan banyak hal lainnya, membuat saya bangga dan bersyukur bisa masuk ke dunia jurnalistik dengan segala macam previlese-nya.

Setelah saya merasa cukup punya karya/foto andalan pada fase ini, saya coba memberanikan diri mendatangi si tukang foto keliling tadi ke rumahnya. Sebuah karya/foto saya yang berisi momen seorang demonstran sedang di injak injak tentara, sengaja saya cetak besar (10R). Dengan pertimbangan bahwa semakin besar imaji yg saya perlihatkan akan semakin menarik tentunya.

Perasaan saya tak menentu ketika dia memperhatikan foto saya sekian lama, lalu tiba tiba tertawa keras. Dia bertanya,”Apa yang lu banggakan dari foto elu ini?”.

Setengah ragu ragu saya menjawab, bahwa saya bangga dengan karya/foto tersebut karena saya bisa menangkap momen kekerasan itu tepat waktunya. Saya berpikir ada pertimbangan decisive moment disitu yang menjadi nilai plus. Lalu dia berkata lagi,”Elu percaya gak?, kalau supir tetangga gue yang baru saja beli kamera poket seharga 50 ribu kemaren sore, bisa juga dapetin momen kaya gini, kalau dia saat itu ada disana”.

Muka saya merah, darah serasa naik semua ke kepala. Kecewa, kesal, bingung semuanya mengkristal, dan si tukang foto keliling ini sepertinya bisa menangkap gelagat tersebut. Dengan nada sedikit membujuk dia berkata lagi,”Gini, sama seperti saat pertama kali elu datang ke gue, dengan foto foto indah dan tak indah elu dulu itu…ya sama kaya ini,…sekarang ini…apa bedanya? Momen ini -sambil dia menunjuk ke karya/foto saya- emang udah menarik, udah fantastic…elu potret pake apa aje ya hasilnya jadi menarik tetap fantastic,…elu mau potret dengan cara apa aje, mau nungging mau apa kek…tetap jadi menarik, karena sudah menarik, bisa nangkep gak?”.

Saya mengangguk walaupun masih belum tercerna semua omongannya. “ini kejadian gue inget banget.” Lanjutnya, sambil menyebutkan tanggal dan hari kejadian, saat dimana saya memotret momen tersebut. Dia berkata lagi,”Elu tau gak,….besoknya sesudah kejadian ini, semua ha-el (headline-red) foto di seluruh koran nasional, khususnya di Jakarta….persis fotonya kaya punya elu ini…..terus sekarang elu masih bangga juga sama foto ini?” untuk kesekian kalinya saya terdiam di depan tukang foto keliling ini.

Ketika saya menyetop sebuah bis kota, dari depan rumah si tukang foto keliling tadi untuk pulang ke rumah, benak saya kembali di penuhi dengan kilas balik pertanyaan dan pernyataan si tukang foto keliling itu. Menyeruak satu per satu, silih berganti dengan teriakan kondektur ;
  • “Kreatif dong!, ciptain hal biasa jadi menarik, dan hal menarik jadi unik, jangan cuman ngerekam aje!”.
  • “Kreatifitas tanpa realitas sama seperti susunan abjad dari A-Z. Bermacam macam kemahiran orang untuk menghias dan menciptakan karakter huruf yang indah. Tapi se-kreatif apapun si pembuat huruf itu, kalau toh tar dia cuman menyusun urutan abjad tersebut dari A-Z doang,….tanpa menjadikannya sebuah kalimat yang berarti….gak ada nilainya itu”.
  • “Momen ini -sambil dia menunjuk ke karya/foto saya- emang udah menarik, udah fantastic…elu potret pake apa aje ya hasilnya jadi menarik, tetap fantastic,…elu mau potret dengan cara apa aje, mau nungging mau apa kek…tetap jadi menarik, karena sudah menarik, bisa nangkep gak?”.
  • ”Elu tau gak,….besoknya sesudah kejadian itu, semua ha-el (headline-red) foto di seluruh koran nasional, khususnya di Jakarta….persis fotonya kaya punya elu ini…..terus sekarang elu masih bangga juga sama foto ini?”


Dan begitulah, pertemuan saya dengan si tukang foto keliling itu dikantornya, menjadi pertemuan terakhir. Sampai sekarang saya belum pernah bertemu langsung lagi dengannya. Dan mulai dari saat itu pulalah empat poin yg pernah di sodorkannya, saya coba mix satu persatu. Dan saya terapkan dalam setiap kali saya memotret, entah itu dalam membuat foto apa saja. Walaupun saya masih tidak terlalu yakin hingga sekarang, apakah saya sudah tahu apa itu makna dari “foto bagus” seperti yg pernah dijelaskannya kepada saya.

Yang pasti saya memang merasakan adanya evolusi dalam proses berkarya saya, mulai dari roll pertama film saya sampai sekarang. Ketika saya membuka lagi tumpukan film film lama, dan melihat pada bundel port folio saya yang pertama, saya bisa tahu bahwa karya/foto yang dulu saya anggap bagus, ternyata sekarang tidak lagi. Begitu juga ketika saya melihat kembali karya/foto dari fotografer hebat yang dulu saya bilang jelek, sekarang malah membuat decak kagum pada diri saya.

Tapi ada satu hal lain yang mengganggu saya sekarang. Yaitu karya/foto si tukang foto keliling itu saat ini, menjadi karya/foto “jelek” bagi mata saya. Dan hal ini juga yang membuat saya semakin yakin kalau pencarian saya terhadap makna “karya/foto bagus” itu masihlah terlalu jauh

Paling tidak, tahap pemaknaan saya tentang karya/foto bagus dengan tahap pemaknaan dia, masih sangatlah jauh rentang pemisahnya. Sehingga saya mengambil satu kesimpulan, bahwa pencarian dalam pemahaman makna dari “karya/foto bagus”, memang tidak bisa berhenti pada satu titik, harus terus di cari sehingga pada diri kitapun ada proses evolusi yang tidak pernah berhenti pula.

Ini sekedar sodoran bahan untuk bincang bebas, sesuai dengan JUDUL RUANG di forum ini. Karena saya melihat begitu beragamnya aliran dan pengalaman fotografi teman teman dikomunitas ini. Dan tentu juga saya percaya bahwa, pemahaman atas makna “karya/foto bagus” itu juga ber-EVOLUSI pada diri teman teman disini. Tidak ada salahnya dong kita berbagi pemahaman makna sejauh yang sudah kita miliki, untuk teman teman yang mungkin baru pertama kali mengisi roll film ke kameranya.

Jadi bagi teman teman yang sudah pula mengalami proses evolusi seperti yang saya alami ini, entah itu sampai pada tahapan yang mana, silahkan kalau mau berbagi juga, Salam!…..oh ya ada satu hal lagi yg lupa saya sampaikan. Situkang foto keliling itu pernah bilang gini “elu baru bener bener hebat, kalau ada orang hebat yang bilang bahwa elu hebat”, sekali lagi salam!
Bagaimana menurut rekan² semua? Dan bagaimana juga menurut bang Agustua F. mengenai hal ini? Apakah masih ada tambahan baru?

Salam.
Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh: Indra D. Prasetya, Depe (1101)    21 tahun yang lalu

 0 

Aku terlambat membaca tulisan ini ... Saking bagusnya, aku merasa harus kasih comment juga (tapi singkat saja):

Dialog ABBO, adalah dialog kita semua dalam perjalanan mencari sebuah "makna". Makna itu bagi dialog ABBO adalah "foto yang bagus", bagi orang lain bisa jadi istri/suami yang cantik/ganteng atau karier yang siip, atau sekedar baju baru, atau memang arti dan tujuan hidup itu sendiri.

Terima kasih sharing-nya.

Re: Lanjutan dari "Sebuah Kontemplasi dan Proses Evolusi Berkarya"

Oleh:  Rudy Subagyo (8761)    21 tahun yang lalu

 0 

he he ..
salah satu keuntungan saya sebagai pe-hobbi fotografy adalah tidak adanya tuntutan untuk membuktikan diri kecuali pada diri saya sendiri.
saya tidak mengerti soal teknis karena saya memilih untuk tidak mengerti (padahal saya nya aja yang tidak sanggup untuk mengerti !)
dengan demikian, jika saya melihat suatu karya seni dalam bentuk foto, saya tidak akan terfokus pada bagaimana cara bikin foto itu tapi pada isi dari karya itu.
buat saya, foto yang bagus adalah foto yang bisa saya mengerti makna/pesan di dalamnya.
belum tentu arti/pesan yang saya tangkap itu adalah pesan dari si fotografer, karena perbedaan sudut pandang antara saya dan fotografer (baca : sayanya aja yang ga nyampe).
belum tentu si fotografer menyisipkan pesan di dalam karyanya. Tapi selama saya bisa mendapat sesuatu dari foto itu, foto itu bagus.
Saya setuju banget ama 'Biarkan foto yang bicara' ... sayangnya, tidak gampang bikin foto yang bisa bicara...

Jadi, sebetulnya lebih penting jika seorang fotografer merasa bahwa fotonya bagus, kalo orang lain bilang bagus juga ya sukur, kalo dibilang ngga, anggap saja foto itu 'bisu' , atau emang dia yang ga bisa liat foto. (tapi tentunya ini hanya berlaku bagi para hobbyst tanpa beban(dan tujuan)seperti saya, untuk para profesional pasti beda)