Oleh: Feri Latief (10508) 19 tahun yang lalu
Dengan Nama Tuhan Yang Maha Mengerti Kepada Tantyo Bangun dan Reynold yang baik, Ketika saya mendapat assigment dari National Geographic sungguh saya senang bukan kepalang. Fotografer mana yang tak ingin menjadi kontributor foto untuk National Geographic? Assigment dari National Geographic itu idam-idaman semua fotografer di dunia. Ada kebanggaan tertentu dalam hati saya, berarti kemampuan saya secara teknis diakui oleh Nat Geo, apalagi portofolio saya di kirim ke Washington untuk mendapat persetujuan assigment. Sungguh saya merasa senang! Tapi di satu sisi saya merasa ada yang salah dalam diri saya mengenai itu. Karena sesungguhnya tujuan saya membuat foto bukan untuk dipublikasikan dan mendapat keuntungan finansial tetapi lebih pada panggilan hati nurani. Sebelumnya saya juga mulai mempertanyakan diri saya sendiri ketika saya mulai mengirim foto ke media-media dan mendapat uang dari pemuatannya. Terlebih-lebih lagi ketika saya mulai dibayar ketika membuat foto untuk klien-klien saya. Bahkan saya marah ketika salah seorang klien saya tidak membayar foto-foto saya. Padahal prinsip saya ketika memotret adalah karena memotret membuat saya bahagia. Lalu mengapa saya marah dan dongkol karena tidak dibayar? Apakah tujuan saya memotret adalah hanya untuk uang? Puncak pertanyaan itu muncul ketika saya mendapat assigment dari National Geographic. Saya takut ketika saya memotret untuk National Geographic bukan karena panggilan nurani saya tapi melainkan panggilan ego saya karena ingin eksis di dunia fotografi. Saya takut ketika foto saya dimuat dan nama saya mulai dikenal orang saya jadi takabur dan merasa eksis. Lalu saya mulai mematok harga tertentu pada orang-orang yang ingin saya buatkan foto. Saya tak ingin menjadi seperti itu, saya ingin memotret dengan bersahaja dan membuat gembira. Saya ingin memotret tanpa pamrih, saya tak ingin membuat foto karena dibayar seseorang. Saya ingin membuat foto karena keinginan panggilan hati saya sendiri. Saya ingin hati nurani saya yang menjadi klien saya. Saya tak ingin uang dan ketenaran menjadi tujuan dalam hidup saya. Semua itu berhala! Tujuan yang sia-sia… Mohon maaf saya harus mengatakan saya mundur dari assigment yang telah diberikan oleh Nat Geo. Saya menyesal telah menerima surat penugasan itu tapi tak melaksanakannya. Mohon maaf kalau saya tidak profesional, karena saya memang tidak ingin mencari uang dari memotret. Saya memotret untuk mencari ketenangan hati dan kebahagiaan. Jika memotret itu malah menimbulkan guncangan pada hati saya maka tidak akan saya teruskan pekerjaan itu. Sekali lagi mohon maaf telah merepotkan dan membuang-buang waktu para crew National geographic. Mulai saat ini biarkan saya memilih untuk memotret dalam kesendirian tanpa klien selain nurani sendiri. Tak apa foto saya tak pernah ada di ruang-ruang pameran, tak apa foto saya tak ada di halaman-halaman surat kabar, tak apa foto saya tak pernah dilirik orang sedikitpun, tak apa foto saya tak mendapat pujian orang, tak perlu semua itu kalau hanya membuai-buai dan membesarkan ego saya. Karena bukan itu tujuan saya membuat foto. Keputusan saya ini pasti mengecewakan banyak orang, terutama teman-teman saya dan orang-orang yang selama ini memberikan dukungan moral. Tapi apalah artinya itu semua kalau saya memotret tidak dengan hati lagi. Pak Tantyo Bangun dan Mas Reynold, mohon dimaklumi keputusan saya ini. Terimakasih telah memberi kepercayaan kepada saya. Salam Hangat Feri Latief
Oleh: Bayu Arya (665) 19 tahun yang lalu
hebat............................ Gimana kalo kak feri bagi2 ilmu............. itu lebih baik lho!!
Oleh: Henry Lopulalan (87) 19 tahun yang lalu
Saya sangat salut dengan keputusan yang anda ambil. Benar kata teman lain mungkin 1 dari 1000 atau 1.000.000. orang yang hidup di muka dunia ini. Menurut saya sayang foto-foto yang kita punya hanya kita simpan di lemari atau hardis saja. Mungkin lambat laun akan rusak atau hilang. Tanpa di lihat orang lain. Menunjukan foto kepada umum bukan kita minta pujian. Tapi kita bisa menununjukan sesuatu kepada orang lain lain sesuatu yang baru. Mungkin hasil yang kita peroleh dengan susah payah itu bisa merubah hidup orang lain ataupun belajar dari karya anda.
Oleh: Yuli Seperi (1448) 19 tahun yang lalu
aku selalu mencopy tulisan mas feri...aku salut dengan keteguhan jiwa anda dalam fotografi.....terima kasih dengan renungan anda slama ini....semua pilihan memang ada konsekuensinya ya kan... salam
Oleh: Sebastian R, BAST (1061) 19 tahun yang lalu
Loe yakin sekali dengan keputusan lu ya fer.... Menurut gw idealis boleh-boleh saja (dengan tdk mau dihargai dengan materi), dan itu benar-benar membuat gw bengong... Tapi sadarilah bahwa penghargaan yang diberikan pihak lain adalah karena karya lu bagus. So, kalo Lu gak mau diberi penghargaan, berikan saja penghargaan itu kepada mereka yang membutuhkan... Toh, masih banyak anak jalanan yang berceceran... Anyway, Gw salut dengan keputusan itu... Salam
Oleh: Mulyana (4045) 19 tahun yang lalu
Hidup adalah pilihan dan kesempatan emas hanya datang sekali seumur hidup. Semuanya berpulang pada mas Ferry. Salut untuk keputusan yang diambil. Salam :)
Oleh: Febrianto (1116) 19 tahun yang lalu
terkadang idealisme harus bertarung dengan keinginan, terkadang kita terlena dengan kebanggaan yang kita buat bukan dengan hati nurani, terkadang kita juga lupa bahya karya kita sangat berarti bagi orang lain, terkadang kita lupa karya kita menjadi api semangat bagi orang untuk menumbuhkan semangat baru, tapi ya itulah keputusan dan keyakinan, saya salut dengan keputusan anda sekarang but semoga lain waktu lebih sedikit membuka hati karena karya anda bisa menjadi lebih berarti bagi orang lain, salam febrianto
Oleh: Raymond Sabar Hottua, Hutabarat (26165) 19 tahun yang lalu
Wah sayang sekali yah mas Feri. Saya pribadi sih berpendapat, bahwa assignment yg didapat itu tidak harus mengorbankan hati nurani kita. Dan sah2 saja kita menerima bayaran untuk foto2 kita.... Tapi setiap orang memang beda prinsip, dan saya tetap salut dg mas. Tidak banyak orang yg berpegang pada prinsip seperti mas. salut abis - salam
Oleh: Fadil Aziz (7946) 19 tahun yang lalu
Kadangkala saya pikir perlu juga kita renungkan apa yg terjadi dibelahan dunia yg lain. Saya sering kagum pada orang barat akan bagaimana mereka dapat menggabungkan idealisme dgn uang. Ungkapan "do what you like and the money will follow" yg sering kita dengar bukan retorika namun memang begitulah adanya. Amazon, FedEx, WalMart, Microsoft dan majalah NG tak akan ada tanpa cita-cita idealis pendirinya. Profesi-profesi yang sangat spesialistik lahir dari idealisme. Bagaimana kita menemukan peneliti-peneliti dr negara-negara barat malang-melintang dipedalaman hutan Kalimantan, meneliti mulai dr adat-budaya, bahasa, ekosistem, hingga serangga. Semuanya dilakukan bukan karena terpaksa ditugaskan tetapi karena mereka mencintai pekerjaannya. Berapa banyak kita lihat landscape photographer (yg sudah merupakan bidang yg spesifik) berspesialisasi pd American West misalnya, atau fotografer mamalia, fotografer ikan hiu krn kecintaannya pada ikan hiu, atau fotografer burung seperti Arthur Morris yang sangat terkenal itu. Semuanya karena kecintaan mereka pada subyek mereka. Dari sanalah lahir foto-foto yg mengikat jiwa, yg membuat kita berhenti bernafas. Semuanya tdk mereka kaitkan dgn monetary reward (demikian pengakuan mereka) tetapi karena kepuasan batin, namun mereka dpt hidup layak adalah kenyataan. Bahwa mereka terkenal tak terbantahkan. Bahwa mereka menciptakan suatu industri baru juga kenyataan. Bahwa dunia belajar dr subyek yg mereka foto dan bahwa mereka memberi kontribusi balik pada subyeknya juga kenyataan yg sering membuat saya kagum pd mereka. Sementara berapa banyak diantara kita yg bekerja karena kecintaannya pada pekerjaannya? Negri kita kekurangan orang-orang idealis padahal sesuatu yg luarbiasa hanya bisa lahir dari idealisme. Disini uang mengalahkan idealisme. Uang menjadi tujuan utama dan akhirnya kita tak mendapat apa-apa (1 $ saat ini kurang lebih 11.000 rupiah nilainya!) Cukup ariflah rasanya bila kemampuan orang barat tsb kita jadikan pelajaran dan demikian pula dgn kasus Bang Feri. Kepada Bang Feri, mohon maaf saya bicara panjang lebar. Jalan Anda masih panjang, saya sendiri pun masih dlm pencarian tsb namun kata-katan Jim Bradenburg, fotografer NG selalu saya ingat: "the less I worry about money, the more money I make". </i)
Oleh: Muhammad Iqbal (75368) 19 tahun yang lalu
Gila.....idealisme yang sangat jarang kita temui saat ini...benar-benar sebuah idealisme yang patut di contoh.... Tapi, bukan kah lebih baik seperti ini..tetap foto, tetap mendapatkan uang, tetap berhati nurani... Di hal lain..misalnya kita ingin beramal, tapi takut sombong, bukan kah lebih baik tetap beramal dan tetap berusaha tidak sombong, itulah yang menjadi kemenangan kita, ketika kita mampu melakukan sesuatu yang baik namun juga mampu mempertahankan idealisme kita juga... Semoga berkenan..
Oleh: Arief Azrul Amar, Riefa (28515) 19 tahun yang lalu
salut buat anda bung... memang, saya adalah salah satu dari sekian banyak pembaca national geographfy indonesia. foto2 yang disana emng top, berkelas dan yahud. ketika anda menolak untuk berada disana, saya yakin, bahwa kredibilitas anda dalam dunia fotografi sangat besar. tapi di lain pihak, ada sesuatu hal yang membuat anda harus memutuskaan, akan mengambil pekerjaan itu atau tidak. seperti halnya hidup, ketika kita harus mau tidak mau melalui persimpangan jalan..kita harus memilih dan menentukan, jalan mana yang terbaik buat kita. Saat itu, anda tidak bisa kembali dan berharap keadaan seperti semula, saat itu adalah Point of no Return dalam hidup anda, karir anda, dan masa depan anda. Saya sangat salut sama Bung Feri. Semoga juga menjadi renungan salam