Oleh: Wibowo Wibisono, Wibi (18031) 17 tahun yang lalu
Sepertinya tidak ada perayaan tahun baru di penanggalan manapun yang kemeriahannya melebihi tahun baru imlek. Dimulai dari berbagai ritual yang dilakukan jauh sebelum hari-H, kemudian pernak pernik hiasan, penganan2 khas imlek, atraksi barongsai hingga kembang api yang kemudian diadaptasi oleh masyarakat internasional sebagai simbol kemeriahan. Foto2 berikut diambil di pecinan Glodok pada tanggal 17 Februari 2007.
Di negara asalnya, perayaan tahun baru menandakan dimulainya musim semi. Saat itu, masyarakat berlomba2 untuk mengetahui keberuntungannya selama satu tahun ke depan. Di negara dua musim seperti Indonesia, perayaan musim semi ini bermakna simbolis, yaitu dengan menggunakan pohon bunga artifisial yang dilengkapi dengan atribut2 imlek.
Di belahan bumi manapun, perayaan tahun baru imlek selalu dimeriahkan dengan kehadiran barongsai. Di Indonesia sendiri, atraksi ini baru bisa dimunculkan kembali pada tahun 1999 setelah sebelumnya dilarang untuk dimainkan. Gerakan naga dipandu oleh bunyi krincingan berbentuk bola.
Atraksi ini dilakukan sekelompok orang yang memiliki skill akrobatik. Di Jalan Pancoran, Glodok, tiga barongsai naik hingga ke atap bangunan Hotel Pancoran.
Bunyi tetabuhan dan alat musik lainnya selain mengiringi permainan barongsai, juga dipercya dapat mengusir setan dan roh jahat.
Beberapa orang dan pemilik toko memberikan angbao pada barongsai. Biasanya angbao digantung di entrans toko. Seorang pemilik toko memberi angbao dengan cara yang unik. Hal ini dilakukan karena entrans tokonya terlalu rendah, sehingga menyulitkan barongsai untuk berdiri.
Red rules! Pernak-pernik yg dijual selain lampion dan hiasan adalah buah2an dari Tiongkok yang semakin memperkuat kesan dimualinya musim panen (semi).
Semula saya mengira bunga2 segar ini dijual untuk hiasan. Ternyata bunga2 ini digunakan sebagai persembahan dalam ritual keagamaan. Dalam situasi dimana begitu banyak fotografer berkeliaran, para tukang bunga ini sudah tidak canggung lagi untuk difoto.
Menjelang dusk (maghrib), lampu2 lampion pun mulai dinyalakan. Entah karena terbawa suasana atau bukan, saya merasakan energi yg besar saat cahaya2 merah ini mulai menyala.
Ada beberapa ritual dan kebiasaan yang dilakukan warga etnis tionghoa pada malam tahun baru. Biasanya saat itu mereka berkumpul bersama keluarga di rumah org yg paling dituakan, memasak hidangan untuk dimakan bersama dan sebagian untuk keperluan sembahyang leluhur. Makanan diletakkan di atas altar beserta sesajian lain dan foto orang tua/leluhur yg sudah meninggal dunia. Kemudian, mereka membakar lembaran2 kertas sebagai simbol uang yg dikirim ke alam baka.
Family gathering selain mempererat silaturahmi juga menjembatani generation gap antara yg tua dan muda. Wah.. ternyata tidak ada bedanya dengan kami yang merayakan idul fitri.
Tidak hanya atraksi budaya Tionghoa yg meramaikan malam imlek, kesenian native seperti ini juga mendpt sambutan dari warga tionghoa.
Spot yg paling diincar para peminat fotografi adalah klenteng. Menurut saya, fotografer2nya jauh lebih heboh daripada yg sembahyang Karena tidak tahan dengan asap yg bikin mata perih, saya dan teman2 memutuskan untuk ke luar dari hall utama klenteng.
Ritual sembahyang di area innercourt lebih diperuntukan bagi mereka yang sudah meninggal dunia.
Tidak jauh dari sekolah Ricci, ada kelenteng lain yg ukurannya lebih kecil. Paling tidak, hunting di tempat ini relatif lebih nyaman karena hanya saya dan seorang teman yg memotret. Seorang ibu menuangkan minyak ke dalam mangkok. Ritual ini ada hubungannya dengan rejeki atau keberuntungan satu tahun kedepan. Setiap orang harus mengisi mangkok dengan minyak sepenuh mungkin.
Sebelum dituangkan ke dalam mangkok, minyak dalam botol terlebih dahulu disembahyangkan…
Semakin malam, semakin ramai pengunjung yang berdatangan ke kelenteng.
Kembang api memperkuat kesan festive pada perayaan imlek. Motiv kembang apinya pun bermacam2. Semoga kedepannya atraksi seperti ini bisa dijadikan festival tahunan yang mengundang wisatawan.
Malam semakin larut. Saya dan teman2 pun memutuskan untuk pulang. Sebetulnya, belum puas saya mengikuti event setahun sekali ini. Kalau melihat ke belakang (sebelum 1998), rasanya mustahil kita bisa memahami dan menyaksikan even budaya satu ini.
Saya jadi ingat kata2 Oprah Winfrey di salah satu talkshownya. Mengapa kita harus membeda2 kan manusia karena ras dan etnisnya, kalu ternyata kita memiliki begitu banyak kesamaan yg mendasar. We share the same languange of love, we share the same language of misery and happiness. Selamat Tahun Baru!
Oleh: Michael Perkasa (63353) 17 tahun yang lalu
cakep liputannya bro!!!!
Oleh: Lay Kana (119105) 17 tahun yang lalu
liputan ini menarik sekali....
Oleh: Andreas SM (39755) 17 tahun yang lalu
Liputan dan foto-foto menawan pak Wibi, nuansa merah menghiasi..keren
Oleh: Herumanto Moektijono (15429) 17 tahun yang lalu
Selain foto-foto yang diambil dengan pendekatan yang atraktif...salut pula dengan tulisannya yang mengalir..enak dibaca dan bermakna... :)
Oleh: Irwan Karim (34744) 17 tahun yang lalu
Ada "Pesan" Sosial yang cukup dalam "tersirat" di Liputan ini..... Saya suka dengan sikap pak Wibi, kita harus selalu menjaga KEDAMAIAN di muka Bumi ini...., Saya juga senang dan terkesan dulu dengan rekan-2 FN lain yg dulu melakukan HUNTING Idul Fitri .... inilah asyiknya FN... kita selalu SATU !!!
Oleh: Bambang Irwanto, Beng2 (5883) 17 tahun yang lalu
Menarik and menggugah... khususnya kutipan yg dari Oprah itu. Jadi inget lagunya Scorpions deh... ... 'cause we all live under the same sun, we all walk under the same moon... then why, why can't we live as one ...