Oleh: Feri Latief (10508) 19 tahun yang lalu
Hari ini tulisan fotografer independen, Rio Helmi, di muat di KOMPAS. Ketika banyak media masa nguber setoran , tulisan beliau seperti menjewer dan menyentak kita semua. Terimakasih KOMPAS yang selalu menjaga diri agar tetap mendidik dan cerdas. Salah satu pelajaran yang menarik saya ambil dari WPP Journalist Course 2005 kemarin adalah : PRESS tidak sama dengan Jurnalistik. Press adalah penerbitan, yang menghitung suplai dan deman sementara jurnalis lebih kepada idealisme. Dan Rio Helmi menyentil kita agar selalu seimbang di antara keduanya.
Oleh: Saelan Wangsa (141012) 19 tahun yang lalu
sebuah tulisan buat di renungkan..
Oleh: Athmam Mufti (8642) 19 tahun yang lalu
Semoga makin banyak yg mengikut jejak Bung Rio, atau paling tidak tersadarkan sejenak. Media kita memang sedang parah2nya, sampe2 negeri jiran sudah melarang rakyat nya menonton tayangan tv-2 kita. Itulah akibat hanya mementingkan rating dan komersil belaka.
Oleh: Johannes P. Kusumo, barron (2861) 19 tahun yang lalu
Sebuah kearifan yang mesti kita renungkan ..... Mengenai nurani dan keinginan untuk memburu foto yang bagus. Salut mas Rio ...
Oleh: Panji Laksmana (8970) 19 tahun yang lalu
Bener-bener 'nampar'! tetep aja baliknya ke hati nurani... kalo udah begini, quote "bad news is a good news" udah gak laku lagi! Hidup Hati Nurani!!
Oleh: Dian Rosita (2450) 19 tahun yang lalu
Ingin contoh lagi? ini judul yang sering nampak di harian2 yang tentu rekan-rekan tau "Bapak Angkat Garap Bocah 8 Tahun, Dibor Gaya Nungging'". Mau lebih banyak contoh? Coba saja lihat berita-berita dalam surat kabar Lampu Merah atau Pos Metro atau media sejenis (silahkan diapus kalo dianggap menyinggung pihak2 tertentu). Berita kasus perkosaan misalnya, tidak lagi digambarkan sebagai suatu hal yang tragis dan keji, melainkan digambarkan dengan detail, bahkan kadang tampak berusaha membangkitkan fantasi seksual pembacanya. Ketika hal ini terjadi satu atau dua kali, mungkin kita bisa menyatakan bahwa hal itu terjadi karena penulis berita tidak mempunyai empati atau hanya mencari sensasi. Tapi kenyatannya, gaya penulisan seperti itu telah menjadi industri sendiri.Dengan membuat pemberitaan seperti itu, sebagian pers kita rasanya sudah dapat dikatakan melakukan dekriminalisasi. Membuat sebuah tindak kriminal menjadi bukan lagi tindak kriminal karena disuguhkan sebagai suatu hiburan Akibatnya lama2 masyarakat akan menganggap kejahatan sebagai suatu yang remeh. Masyarakat tidak lagi mengasihani korban. Kalau ada korban terkena pelecahan atau perkosaan, masyarakat tidak lagi memandangnya sebagai sesuatu yang perlu diberi simpati. Jika masyarakat sudah tidak lagi sensitif, sudah tidak peduli dan tidak ada kemarahan terhadap aksi-aksi kriminal, maka upaya masyarakat untuk memerangi kejahatan akan makin hilang
Oleh: Andi Lubis (14072) 19 tahun yang lalu
Rio .. my idol :x
Oleh: Karmela Amanda Hasan, Mel (39039) 19 tahun yang lalu
The Newspaper di Singapore juga memuat foto kepala setengah hancur si 'alleged bomber' berikut dengan potongan tangannya dan serpihan2 daging manusia di sekitarnya.. Saya beli koran itu seharga 70cents. Saya lihat gambar tsb dan di perjalanan pulang saya buang ke tempat sampah. Saya tidak ingin menakut2i anak2 saya dengan photo sadisme seperti itu. Sepenuhnya setuju dengan Rio Helmi.
Oleh: david hermandy (3403) 19 tahun yang lalu
:-? kasusnya sama gak ya, dengan foto syur di FN :-??
Foto syur yang mana Om David? Setuju dengan Tita...masyarakat sekarang dibuat tidak peka karena dicekoki berita-berita seperti itu setiap hari...hii...hi...hi...ngeri...
Oleh: Rieska Wulandari (10745) 19 tahun yang lalu
Saya tidak ingin meluruskan dan tetap menaruh hormat kepada Kakak Senior Rio Helmi yang telah menulis artikel yang menggugah. Kasus bom bali kemarin memang disesalkan oleh semua pihak. Dan tentu saja kasus sebesar itu akan membuahkan berita yang sama besarnya (22 orang meninggal). Motivasi yang tidak luhur karena mencantumkan wajah-wajah para pelaku pengeboman? Are you sure mas Rio? Siapa yang tidak luhur? Pers dan jurnalis yang membeberkan fakta itu atau tiga orang yang membunuh 22 orang yang lain? Satu hal, seperti kita semua tahu, pers tidak akan begitu saja membeberkan wajah itu tanpa ada konfirmasi dari otoritas, dan memang kepolisian memberikan data itu kepada pers. Setiap kejadian kecil atau besar memang seharusnya menjadi bahan perenungan kita semua. Dalam masa perenungan itu, kita juga harus pandai dan bijak memilah. Memang sebuah foto atau gambar yang sadis tidak seharusnya ditampilkan begitu saja di media massa. Tapi itu fakta yang ada. Kepala yang ditampilkan itu bukan dimaksudkan untuk menakut-nakuti bapaknya atau anaknya bapaknya, tapi itu adalah raungan permohonan bantuan aparat kepada publik, karena ada 3 orang manusia yang tega menghabisi 22 nyawa lainnya. Mungkin untuk menghilangkan kesan trauma, bisa diceritakan kepada anak- anak mengapa orang itu hanya tinggal kepalanya saja, anak-anak sekarang sangat kritis dan bisa mudah mengerti apalagi jika mereka diberi informasi yang benar dan tidak dibohongi. Katakan saja dengan jujur pada anak-anak bahwa memang banyak orang jahat di dunia ini, itu akan membuat mereka lebih waspada dan tak lengah menjalani hidup. Yang disorot dalam tulisan mas Rio saya kira bukan beritanya, tapi sikap pencari berita terhadap subyek beritanya. Memang selama di lapangan, jurnalis berlomba untuk mencari data dan fakta terbaik, tercepat tapi juga TERAKURAT. Dalam lubuk hatinya para jurnalis sesungguhnya berat jika harus mengangkat tema darah (dan pasti ini dirapatkan di ruang rapat redaksi, terutama soal etikanya) Jurnalis jiga memiliki beban untuk memberitakan apa yang terjadi di lapangan dan kami akan sangat salah kalau kami tidak menyebarluaskan “temuan” ini. Saya bersyukur, karena dalam hal komunikasi dan informasi Negara ini jauh lebih baik dari Negara-negara tetangga. Maksud saya, kecepatan informasi begitu tinggi dan saya yakin keadaan ini juga membantu berbagai pihak dalam menentukan keputusan, kebijakan bahkan mengambil jalan hidup. Siapa yang tidak mendengarkan El-Shinta, Trijaya FM dan jaringannya di berbagai kota di Indonesia, siapa yang tidak membuka Detik.com dan siapa yang tidak menonton Metro TV? Saya yakin media media itu didengar, diklik dan ditonton karena kecepatan informasi yang mereka suguhkan. Sebagai jurnalis, saya bangga pada pihak aparat kita bahwa Polisi tidak menutup-nutipi apa yang mereka temukan dan mau membeberkannya kepada public secepat mungkin. Dan sebagai jurnalis, saya juga bangga karena rekan-rekan benar-benar bekerja dalam kondisi yang ketat deadline dan persaingan sekuat tenaga yang mereka miliki. Saya juga yakin, yang dilarang dipancarluaskan di Negara-negara tetangga itu bukan bagian siaran berita yang berbobot, tapi acara sinetron atau bintang kuburan yang tak kunjung berakhir itu. Well aku harap, kasus BOM Bali I dan BOM BALI II ini tidak berlanjut ke sekual BOM BALI III, seperti halnya sinetron kita yang selalu bersambung dari satu sekuel ke sekuel yang lain. Yup, mudah-mudahan di kasus BOM BALI II ini, semua pihak belajar.. termasuk pers. Pers, jurnalis bukan makhluk super yang tak pernah melakukan kesahalah. Kita butuh artikel-artikel lain yang mengkritisi pers, seperti artikel yang ditulis mas Rio Helmi Oh ya, tips terakhir, untuk mengetahui apakah sebuah media memiliki agenda poilitik tertentu atau tidak silahkan dilihat dari nara sumber dan kalimat yang dipetik dalam berita tersebut. Bila berita tidak berimbang, maka bisa dikatakan media tersebut punya misi tersendiri. Tapi bila pihak satu dan yang lain sudah dipetik dalam berita, maka mas tidak perlu ragu membaca berita lagi. Silakan saja tetap berlangganan Koran dan ikuti perkembangan dunia ini dengan spirit of hope …. Salam Rieska Wulandari Jurnalis yang masih belajar, bekerja di Japan News Agency Jiji Press Jakarta Bureau Kyoei Prince Building, Suite 1702 Jl. Sudirman, Kav 3, Jakarta. [email protected] .
Oleh: Heri C., Winale (5653) 19 tahun yang lalu
Media massa yg seperti sudah ditulis di atas, dalam kamus saya adalah media massa bajingan! Sejak dulu saya beranggapan begini. Mungkin ada pihak yg tidak setuju, tetapi terserah. Bagi saya faktalah yg berbicara (lihat tulisan Rio dan Tita di atas). Dan kebajingan media yg demikian makin merajalela saja. Kalau pemerintah tidak bisa membereskan media-media berhati bajingan kayak gitu, saya setuju sudah saatnya masyarakat ambil tindakan. Kalau pemerintah tidak mampu memberangus, mengapa harus tidak rakyat yg memberangus media bajingan kayak gitu? Orang2 yg tidak punya hati nurani jangan dibiarkan menjadi "raja" yg disembah. Kejahatan apapun mesti dihentikan. Dan pemaparan kayak yg disinggung Tita di atas, itu sudah masuk kategori kriminal tentu saja. Menganggap kejahatan sebagai hal remeh dengan vulgarisasi tanpa perasaan.
Oleh: L H Kekek A D H (6241) 19 tahun yang lalu
Seorang Rio Helmi … Kerja bareng dan Diskusi dengan beliau keliatan sekali kok pemikiran dan wacananya terhadap issue yang sedang dibahas. Keliatan arif, penuh penghayatan, cerdas, dan jelas keberpihakannya. Saya belajar banyak dari foto2nya ketika mengemas foto Orang2 dengan HIV/AIDS untuk kegiatan advokasi, dimana foto ini menggambarkan orang dng HIV/AIDS hidup lebih manusiawi dan bercitra bagus. Foto2 yang ditampilkan tidak seperti kebanyakan foto orang dengan HIV/AIDS yang mengerikan dan penuh stigma moral. Cara beliau menyampaikan pesan dalam foto membuat orang belajar memahami “Oh...ini sebenarnya” membuka mata, menyadarkan hati, dan membangkitkan kepedulian. Kumpulan foto tegak-tegar orang dengan HIV/AIDS dari beberapa propinsi dipamerkan di MPR/DPR tahun 2003 lalu. Yang terpenting menurut saya ketika mengemas berita adalah membuat orang lain menjadi orang lebih tahu dan paham bukan sekedar berita (yang disebut bang rio sebagai ”tidak luhur.” )
Oleh: Fierman Much (10446) 19 tahun yang lalu
jujur gw ga tau bang rio itu siapa, tapi kalo melihat foto yang di tampilin L H Kekek A D H, saya bener2 kagum ama dia, fotonya bener2 bercerita. sukses deh... bwat bang rio, ============================================================ baca tulisannya sampe 2x gw :) berat banget tulisannya hikz
Oleh: Bayu Arya (665) 19 tahun yang lalu
Mmeotret dengan kesukaan (tanpa paksaan dan kita bener-bener yah pengen motret), jauh lebih enak dari pada memotret dengan 'paksaan' (or even karena kebutuhan kerja). Njilmet yah?
Oleh: Arief Azrul Amar, Riefa (28515) 19 tahun yang lalu
Bakal rame nih....
Oleh: Putu Ashintya Widhiartha (17984) 19 tahun yang lalu
Mas Firman (FM) yang baik, kalau sekarang penggemar fotografi di Indonesia banyak mengidolakan dan belajar dari karya Pak Darwis Triadi, Pak Arbain,Cak Yuyung,dan fotografer senior lainnya maka sekitar tahun 80-an dan awal 90-an Pak Rio Helmi sudah dianggap sebagai salah satu fotografer terbaik di Indonesia bahkan nama beliau juga terkenal di Asia dan dunia. Coba kalau lagi nganggur, ketik aja nama beliau di Google atau Yahoo!,pasti banyak website ttg beliau. Banyak yang bisa dipelajari dari foto2 beliau. Tentang topik yang diangkat oleh Pak Rio Helmi di Kompas itu,saya setuju kalau PERS harus bertanggungjawab dalam memilih berita dan foto yang harus ditampilkan. Mbak Rieska pasti sangat paham betapa pers Jepang sangat bertanggungjawab dan menghindari bentuk2 vulgarisme (darah,kepala terputus,orang ditembak,dsb) dalam pemberitaan mereka. Tidak ada sensor dari pemerintah tapi segala yg ditampilkan sangat berbobot,penuh analisa,dan yang pasti mencerdaskan pembaca. Begitu aja dulu opini dari saya,semoga berkenan Salam dari tepi danau Biwa * Mas Firman (FM),danau Biwa itu ada jauh di utaranya pulau Bali,bahkan masih di utaranya Philipina,tepatnya di utaranya Kyoto.
Oleh: Hani AE (28017) 19 tahun yang lalu
Sisi pandang melihat fenomena dgn perenungan. Secara pribadi, aku melihat Pers seperti mesin industri kapitalisme lainnya. scara tak sadar mahfum klo terkadang sangat berlebihan mengekploitasi sesuatu. thx for share. mohon maaf jika pendapatku salah.
Rieska udah pindah kerja ya? Naik gaji dong? Traktir-traktir ya... Untuk nangkep teroris memang perlu foto kepala terpenggal ya Mbak Ries? Polisi apa nggak punya cara lain selain menayangkan foto itu? Bisa di sketsa/gambar dulu kan? Masa dari bukti kepala yang utuh seperti itu polisi nggak bisa mencari jalan untuk menemukan pelakunya? Wong cuman dari casis mobil saja polisi bisa melacak Amrozi dan kawan-kawan apalagi yang kepalanya utuh. Apa polisi memang sedang putus asa? Bukankah penayangan video itu oleh polisi juga disesalkan oleh yang mengambil gambarnya?
Kebutuhan berita sekarang ini oeh dunia memang tidak bisa dipungkiri lagi sangat besar. apalagi dengan orang-orang di dalamnya yang majemuk dalam menilai intisari suatu berita. Pernah, suatu hari saya membaca kompas. Di sebuah rumah makan, tiba2 channel TV yang menayangkan suatu adegan kekerasan atau pembunuhan (BUSER dsb) diganti begitu saja dengan yang lain karena salah satu pengunjung merasa keberatan menonton adegan itu karena ada anaknya yang masih kecil, ditambah lagi waktu itu tempatnya di rumah makan. Menurut dia, menonton adegan orang terbujur kaku atau muncratnya merah darah pada waktu makan adalah hal yang sangat bertolak belakang. di lain sisi, ada juga orang yang merasa enjoy menonton acara tsb tanpa terganggu, karena dengan itu dia bisa mendapat informasi yang lebih luas tentang kejadian tsb agar tidak terjadi di lingkungannya dengan belajar dari berita tsb. Solusi : kembali ke diri kita masing2, kalo kita emang ngeri lihat berita seperti itu ya jangan diliat, beres toh??? Yang engga ngeri juga monggo2 aja. tapi di konsumsi secara pribadi aja tanpa menggangu orang lain. Sekarang masalahnya, bagaimana jika kedua tipe orang tersebut bertemu di satu set lokasi seperti warung makan tersebut?? hal itu masih jadi PR buat saya pribadi...
Oleh: Rarindra Prakarsa (142597) 19 tahun yang lalu
Tema yg ingin sekali saya angkat sejak dulu. Banyak sekali wartawan (pers) yg bergaya persis kayak sales force.
Wah diskusi yang mengasyikkan sekali :) Sekali lagi, saya tidak pro terhadap vulgarisme dan kekejaman yang diumbar dalam pers. Saya juga tidak setuju terhadap segala macam klenik dan cerita tahayul yang dijual dalam cerita sinetron di televisi. Pers kita memang belum dewasa. Beberapa media yang sudah establish (terutama cetak) telah mampu memenuhi tuntutan etika pers misalnya dengan tidak menampilkan foto kepala dan korban dan menggantinya dengan ilustrasi sketsa atau foto dua penduduk lokal bali yang sedang membaca pengumuman bergambar di sebuah desa di Bali. Ketidakdewasaan pers adalah keprihatinan kita. Salah satu cara untuk membuat pers tumbuh dewasa adalah dengan melakukan proses seleksi alamiah. Antara lain dengan tidak membeli koran yang vulgar seperti yang dinilai oleh rekan-rekan. Ini cerita lucu dalam pers Indonesia. Beberapa media yang tampaknya tidak qualified seringkali menjadi referensi yang bagus (bagi media lain yang sudah establish), karena mereka mampu menembus informasi di kalangan grassroot yang anonym (kasak-kusuk yang ternyata bisa jadi benar). Memang saat info tersebut dikonfirmasi pada pihak yang berwenang, ternyata info tersebut benar (tapi prosesnya lamaaa sekali, karena ada berbagai prosedur dan kepentingan). Herannya, sampai sekarang Koran ini masih berjaya dan saya belum mendengar mereka mendapat tuntutan dari pihak manapun meski berita mereka mereka kadang tidak memenuhi standar 5W + I H Jadi, Indonesia memang membutuhkan proses untuk mendapatkan media yang berkualitas dan bertanggungjawab. Tak hanya itu, Indonesia juga butuh pembaca yang dewasa dan mulai bisa memilah, Koran mana atau program televisi apa yang bisa dibaca dan ditonton¡K Jadi maksud saya, kedewasaan media tidak melulu menjadi beban media yang bersangkutan tapi juga pembaca dan pemirsa sebagai pengguna media untuk menyeleksi keberlangsungan sebuah media ƒº Salam
Opini yang menarik, mbak Rieska. Memang kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan media atau wartawan yg tetap memilih menampilkan vulgarisme, lha wong kenyataannya berita2 semacam itu yg membuat media mereka bisa bertahan hidup dan selalu laris di masyarakat. Jadi saat ini mungkin kita bisa berharap masyarakat menjadi jenuh dan bosan dengan berita semacam itu,sehingga media semacam itu mati dgn sendirinya terkena seleksi alam seperti kata mbak Rieska di atas. Cuma berapa lama ya transisi ini? mengingat setiap manusia pada dasarnya suka dengan sensasi.....hmm....moga2 cepat deh. [-O
Oleh: Jaya Miharja N (24142) 19 tahun yang lalu
Persoalan yang memang sudah seharusnya kita renungkan bersama. Koran lokal di daerah saya juga sering menampilkan foto-foto yang seharusnya menurut saya dibabat sensor. Usus terburai, kepala pecah, dll...dll.... Gimana kalo anggota keluarga korban melihat ? Saya yang orang lain aja miris melihat.... Kebebasan yang kebablasan saya kira...
Kebebasan pers/media yang ada sekarang, secra teori akan dipilih/diseleksi secara natural alias seleksi alam. Maksud secara global adalah simplenya 'Kalo tayangan jelek pasti tidak akan ditonton, kalau tidak ditonton, gak ada yang ngiklan, kalo nggak ada yang ngiklan pasti mati sendiri' diharapkan memang seperti itu (teorinya) tetapi semestinymedia jug menilik pada kesadaran untuk medidik dan sadar merekalah yang juga akan membentuk OPINI, MORAL, dan mungkin PERILAKU penonton yang terpapar / expose oleh informasi yang mereka tayangkan/sebarluaskan. memang diperlukan kearifan atas niat budi luhur pemilahan materi yang akan ditayangkan dari pemilik media tersebut.Teori selection by nature seperti diatas tidak sepenuhnya berlaku dalam kehidupan kita yang di garisi/dibatasi oleh semua norma yang kita anut, baik secara norma agama ataupun aturan kesopanan ketimuran kitMohon tanyakan pada diri kita sendiri, sewaktu kita masih kanak-kanak, pernahkah kita mendengar kta 'bom molotov' maupun cara membuatnya.... sekarang mahasiswa tawur pun memakai bom molotov sebagai 'alat demokrasi' mereka.Tanyakan juga pada diri kita, Bagaimana kanak kanak kita mengetahui cara bunuh diri dengan cara menggantung, bukankah mereka 'lebih luas pengetahuan' gantung dirinya dari media yang secara KASAR menanyangkan sesosok mayat yang masih tergantung, dan tewas di gantungan. Media kita juga mencekoki kanak2 kita dengan kesusahan2 hidup yang menjadi tanggungjawab dewasa kita mengatasinya, sehingga mereka tidak terlalu resah dengan ketidak bisaan kita membayar SPP lalu meniru cara yang 'diajarkan' media untuk mengakhiri hidupnya. Kalaupun kita mengakui secara de facto maupun nurani bahwa pornografi adalah konsumsi terbatas, lihatlah di meja2 para penjaja koran murah yang menjajakan tabloid mistis, ataupun cover media yang sungguh sungguh sangat tidak pantas untuk dibeli anak kecil ataupun untuk hanya sekedar dilirik kanak kanak kita. sama halnya dengan minumn keras, rokok, dan hallainnya. Bagaimana bila seorang anak 13 tahun membeli rokok dengan alasan disuruh orang tuanya.Memang kita serba tanggung dan tidak tegas, masih ada area abu-abu untuk pornografi terutama. Bukankah lebih baik apabila pornografi minuman keras dll diATUR dalam undang undang, biarkan playboy beredar di indonesia, akan TETAPI, barangsiapa mengekspos majalah tersebut kepada semua kalangan di tempat umum akan dikenakan(bukan hanya diancam) hukuman pidana. apabila menjual/memperlihatkan majalah tsb (misal majalah playboy) kepada anak dibawah umur dikenakan pidana. Demikian dengan alkohol dengan rokok, siapapun membeli, tunjukkan ktp, apabila tidak, hukum kedua belah pihak,pembeli penjual ataupun pengelola. Memang kita harustidak hanya sekali lagi tapi berkali-kali dan berulang-ulangmerenungkan ekspose/paparan media yang akan kita sajikan, mempertimbangkan semuanya dari semua sisi, nurani,moral,agama, dll. Bukankah uang juga mempunyai dua sisi, cerita mempunyai dua sisi, paparan media pun begitu, dari sisi pemapar/media, dan sisi pemirsa, dan aspek serta efek langsung maupun tidak langsung yang bisa terjadi, Just a thought from a rookie....please CMIIW
Yup mas Baron.. saya setuju sekali... Ayo dong teman-teman ada opini lagi? Sudah waktunya ada perubahan du dunia jurnalisme kita....