Oleh: Feri Latief (10508) 19 tahun yang lalu
Hari ini tulisan fotografer independen, Rio Helmi, di muat di KOMPAS. Ketika banyak media masa nguber setoran , tulisan beliau seperti menjewer dan menyentak kita semua. Terimakasih KOMPAS yang selalu menjaga diri agar tetap mendidik dan cerdas. Salah satu pelajaran yang menarik saya ambil dari WPP Journalist Course 2005 kemarin adalah : PRESS tidak sama dengan Jurnalistik. Press adalah penerbitan, yang menghitung suplai dan deman sementara jurnalis lebih kepada idealisme. Dan Rio Helmi menyentil kita agar selalu seimbang di antara keduanya.
Oleh: Willy Sutrisno (1031) 19 tahun yang lalu
Media massa di Indonesia seperti anak dipingit yang baru dilepas. Bebas sekali. Muak saya melihat TV dan koran2 di Indonesia. Semoga apa yang teman-teman sekalian katakan benar, ini adalah sebuah transisi. Bahwa media massa di Indonesia belum 'mature' dan audience jg belum 'mature'.
Oleh: Rony Zakaria (12972) 19 tahun yang lalu
saya setuju dengan Pak Rio Helmi, berita-berita kekerasan yang menjurus sadis itu sama saja dengan menyuguhkan pornografi ke publik. Sayang masyarakat tidak dapat melihat langsung efek yang dihasilkan. Efek dari berita-berita 'vulgar' itu bisa membuat orang menjadi terbiasa dengan kekerasan dan akhirnya orang akan cuek dan tidak peduli karena biasa..... Tidak semua masyarakat Indonesia dapat memiilah-milah mana yang baik mana yang tidak. Media seharusnya yang menjadi filter pertama kali namun sayangnya sekarang masih banyak tayangan berita yang 'kurang' berguna, hanya memberikan entertainment kekerasan saja...
Oleh: Putu Ashintya Widhiartha (17984) 19 tahun yang lalu
Jika kita perluas sedikit pokok pembicaraan dari thread ini (moga2 gak OOT), saat ini tanpa sadar sebenarnya kita para FN-ers sudah melaksanakan fungsi jurnalisme. 1.Ada yang memang jurnalis seperti Pak Arbain dan mbak Rieska 2.Ada yang sedang berada di luar negeri dan rajin menampilkan foto2 tentang kondisi dan kultur budaya masyarakat setempat. 3.Ada yang penggemar berat even2 olahraga dan show grup musik atau fashion show,dan menampilkan hasil liputan dan foto2nya di FN. 4.dsb. FN adalah sebuah komunitas dengan lebih dari 14.000 anggota (ya kurangi dikit dengan yg gak aktif dan double ID-lah). Belum lagi yang mengakses FN tanpa menjadi member. Bukan jumlah yang kecil, sama dengan oplah sebuah koran daerah. Kalau kita memang ingin mempercepat "mature" nya masyarakat kita dan membantu mencerdaskan bangsa, apakah yang bisa kita lakukan dalam komunitas yang kita cintai ini??? Bagaimanakah kita bisa ikut membangun masyarakat Indonesia melalui karya foto2 kita? tanpa harus dikotori oleh tujuan2 politik tertentu,murni sebagai para penggemar fotografi yang sangat mencintai bangsa ini. Mungkin ada yg akan berpendapat, biarlah FN tetap menjadi sebuah situs fotografi dan tidak usah pusing2 memikirkan fungsi jurnalisme,keinginan saya juga demikian,tapi saya rasa hal itu tidak bisa dihindari....ingat ada 14.000 member. Ada yang punya opini lain, di diskusi yang menarik ini? Mohon maaf sebesar-besarnya bila ada salah kata atau kurang berkenan, hanya saya benar2 menikmati diskusi di thread ini. Salam dari kubangan Biwa.
Oleh: Imam Perdanakusumah (9373) 19 tahun yang lalu
seru juga yach... diskusinya... Proses memang perlu pengorbanan.. pertannyaan... siapa yg mau jadi korban di masa transisi ini...
Oleh: Wiratno (11293) 19 tahun yang lalu
Betul... betul sebuah renungan, semoga para jurnalis di FN bisa menjadikannya sebagai sebuah cermin. Btw... Rieska pindah ke Jepang toh... (media Jepang)
Oleh: Eka Alam Sari (9096) 19 tahun yang lalu
Makanya gw mau ajdi fotograefr anak aja deh. Kerja di media wanita juga nebarin nilai konsumerisme dan hedonis, gak mendidik :D Gw skr bahagia jadi guru Tk walau gaji gw amat kecil
Oleh: david hermandy (3403) 19 tahun yang lalu
=D> diskusi yang sangat dewasa hal ini bisa dimulai dari diri kita di FN foto yang kita upload merupakan foto yang ingin kita publish, sejauh mana kita sadar foto tersebut pantas untuk ditonton publik? Melakukan self sensorship pada foto kita sebelum upload adalah sangat penting, dalam hal ini bukan masalah keindahan atau teknis tapi etika . masih banyak teman kita yang 'lupa' memasukan fotonya ke kategori terbatas :|
Bisa juga dengan memberikan keterangan singkat yang bisa menjelaskan tentang suatu obyek foto untuk memberikan tambahan pengetahuan kepada penikmat foto kita. Hal ini sudah banyak dilakukan oleh teman2 FN yang sedang berada di luar negeri atau di daerah2 yang jarang diekspos media,seperti pengeboran lepas pantai,atau saudara2 kita suku2 terasing di Papua. Meski belum punya rejeki untuk ke Jerman atau Rusia tapi dari keterangan foto2 mbak Doty, Om Ndoro,dan Pak Charles saya bisa tahu banyak hal yang sebelumnya tidak saya ketahui tentang Jerman atau Rusia. Juga artikel Bli GAS tentang anjungan lepas pantai kita. Mungkin agak terlalu muluk harapan saya, tetapi FN dan para membernya benar2 mempunyai potensi untuk mengemban peran dan misi2 mulia jurnalistik dan mencerdaskan masyarakat, sekecil apapun peran itu tapi sumbangan2 kecil itulah yang jauh lebih berharga daripada koar2 kosong para politikus atau berita2 vulgar model "potongan kepala"di media2 kita. Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan atau ada kesalahan kata. Salam dari tepi kubangan Biwa.
Oleh: Rieska Wulandari (10745) 19 tahun yang lalu
Yup setuju dengan Mbak Eka.. Secara teori media massa harusnya berfungsi sebagai alat untuk memberikan informasi. mendidik, menghibur dan mengubah perilaku (dari negatif menjadi positif). Tampaknya fungsi memberikan informasi dan mendidiknya lebih sedikit dibanding fungsi menghibur. Sementara perbandingan fungsi mengubah perilakunya dari negatif menjadi positif masih menjadi pertanyaan besar sebab bagaimana mungkin media yang tak berkualitas bisa memberikan inspirasi yang mencerahkan bagi pembacanya. Ada komentar lain? (Nyuwun sewu moderator, diskusinya kadung menarik, sayang kalau diputus...)
Oleh: Arief Azrul Amar, Riefa (28515) 19 tahun yang lalu
Nambahin dikit.... Jogja...sebuah kota dengan kemajemukan yang luar biasa. Berbagai ras, suku tinggal disini. juga jogja sibuk dengan kemacetan, serta segala aktivitas di dalamnya, sebagai pengantar. Nah, setelah mengikuti diskusi ini, saya jadi ndak abis pikir, disini segala kebobrokan pers kita dieksploitasi, lalu saya ingin bertanya..kebebasan pers yang dulu diperjuangkan dan diusulkan para jurnalistik kita dulu trus mau dikemanain?? lagi, saya melihat, koran2 daerah seperti merapi(jogja dsktrnya) yang rata2 menyajikan berita2 kriminal, dengan segala ke-vulgar-annya kalok mau diprotes karena menyajikan berita ndak mutu dan terlalu seronok dalam menampilkan foto2 korban dengan bersimbah darah gimana? ha wong saya pernah melakukan survey kecil2an, koran2 gitu dengan harga relatif terjangkau yang disenangi oleh sopir2 bus kota(kopata,dsb), kenek, tukang becak, yang rata2 dalam waktu senggangnya mereka menyempatkan diti membaca, atau kalo enggak lihatin foto2nya lah..kalo koran ini berubah struktur terbitnya, dengan materi dan lay-out yang dirubah, apa masih mau para konsumennya beli??? Satu lagi contoh, Meutia Hafid (wartawati Metro) rela bertaruh nyawa waktu meliput konflik di timur Tengah, yang menyiarkan tentang perang. Nah, media massa disana menyiarkan yang namanya REALITA. sebuah kenyataan yang tidak ditutup-tutupi. Aneh kalo rasanya situasi yang terjadi disana tidak ter-cover secara luas. Oke, forum ini mempermasalahkan foto2 vulgar, yang memperlihatkan potongan tubuh, dsb2. Tapi, bagaimana jika kejahatan perang amerika bisa terekspos luas jika wartawan kita tidak menampilkan gambar seorang anak kehilangan lengannya akibat terkena letusan misil grenade seorang tentara amerika?? Atau, sensor untuk mayat2 yang bergelimpangan akibat rudal salah sasaran yang meledak disalah satu perkampungan penduduk di irak sana. Dunia sekarang butuh realita saudara2, realita yang seharusnya benar2 terjadi, kenyataan yang tidak ditutup-tutupi. oleh karena itu, saya bingung, adakah batasan2 yang harus dipegang seoang jurnalis guna menyampaikan beritanya kepada publik sementara permintaan konsumsi dunia akan berita tambah lama tambah luas.. Atau, harus adanya sensor tertentu jika kita menapilkan adegan/gambar potongan tubuh seseorang padahal hal itu penting, BIAR DUNIA TAHU APA YANG TERJADI SEBENARNYA mohon jadi diskusi. Riefa, wartawan Surat Kabar Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur Pos.
Mas Rieva yang bersemangat Saya bisa memaklumi kenapa mas Rieva begitu ber-api2 dalam menjelaskan kebebasan pers yang apa adanya dan tanpa ditutup-tutupi.Memang sudah seharusnya sebagai seorang mahasiswa mempunyai idelaisme demikian,apalagi sebagai seorang mahasiswa yang terlibat langsung dengan pers kampus. Mas Rieva satu hal yang mas Rieva tidak boleh lupa,bahwa "jurnalistik" selalu mempunyai misi2 mulia. Contoh yang mas Rieva ambil sudah benar,seorang Meutia Hafid sampai harus disandera di Iraq demi melaksanakan misi mulianya, menyampaikan berita tentang penderitaan rakyat Iraq akibat invasi Amerika. Apakah dalam menyampaikan misinya, seorang Meutia Hafid perlu untuk menampilkan gambar seorang bocah Iraq yang badannya hangus terbakar akibat bom salah sasaran dari pesawat Amerika? Tidak perlu kan? cukup dengan menampilkan gambar pemakaman si bocah dan kesedihan orangtuanya,misi yang diinginkan untuk menyampaikan penderitaan rakyat Iraq sudah tercapai kan? Apakah perlu koran2 daerah menampilkan foto mayat korban kecelakaan besar2 di halaman 1 demi menyampaikan pesan kepada masyarakat untuk berhati-hati di perjalanan? Tidak perlu kan? Cukup foto bangkai kendaraan sudah cukup untuk menyampaikan pesan itu kepada pembaca,selain melatih pembaca untuk berpikir cerdas juga tidak menyuguhi vulgarisme kepada pembaca. Lain jika "misi" jurnalistik itu untuk memenangkan penghargaan sebagai fotografer terbaik atau demi mengejar oplah penerbitan,ya akhirnya yg dicari ya foto2 yang sensasional. Saya tidak mau mengatakan masalah ini hanya terjadi di media2 Indonesia, photo2 yang memenangkan penghargaan di situs World Press Photo pun banyak yang cukup "mengerikan" menurut pendapat saya. IMHO lo ya :-
Oleh: Yudi Febrianda (9934) 19 tahun yang lalu
kita sekarang masyarakat industri, dimana uang - mau gak mau - menjadi tujuan hidup. dan sifat dari industri adalah eksploitasi. sedangkan fotografer,jurnalis, wartawan adalah bagian dari masyarakat industri tersebut..jadi mau gak mau mereka pun harus memburu uang dengan jalan mereka. idealisme ?? kadang harus terpinggirkan demi uang (dan ini yg paling memuakkan!!). sering kita ingin menciptakan dunia yg harmonis,stabil,indah,dan berbagai harapan yg bersifat ideal,tapi lebih sering kita mendapati semua itu hancur oleh para pemburu uang, yang ironis nya kadang kita juga lah pelaku ketika kita terjepit oleh realita hidup yg makin susah. bukan bermaksud membela segala macam vulgarisme, sadisme, dkk...tapi dalam dunia yg carut marut ini hal seperti itu susah utk dihindari..Kecuali audien sendiri yang akan menyeleksi. kalo gak ada permintaan, gak akan ada barang :)
Oleh: Yoni Tan (13785) 19 tahun yang lalu
Mungkin yang kurang sensi itu soal tanggung jawab sosial untuk mendidik masyarakat kali yah ? Ketidaksadaran atau suatu kesengajaan belaka ? Sewaktu mendengar satu pernyataan dari Kapolda Bali tentang pihak pers tolong tidak menanyakan lagi soal identitas dari saksi yang memberikan video rekaman pelaku pemboman bali 2, saya cukup penasaran juga sih sejauh mana pihak pers mempertimbangkan antara pemenuhan keingintahuan belaka dengan keselamatan dari saksi itu sendiri. Maaf kalau agak OOT sih karena saya juga penasaran aja apa sih pertimbangan pihak pers dalam hal ini. Contoh lain seperti wawancara salah satu terdakwa yang didakwa 2 tahun lalu (maap lupa namanya) karena membantu Imam Samudra dalam persiapan Bom Bali. Di awal wawancara tersebut disebutkan alamat dari orang tersebut secara lengkap. Penasaran aja sih efek dari information disclosure itu bagaimana efeknya terhadap dia saat ini dan juga pertimbangan dari stasiun TV yang menayangkan wawancara itu apa.
Senada dengan mas Widhi, dunia jurnalisme kita (terutama dalam hal foto) masih belum mampu menyelaraskan letupan semangat menyebarkan realita dan kebenaran melalui konsep dan simbol image yang mengena di hati pembaca. Hasilnya : Vulgarisme. Jika kampanye untuk menghentikan vulgarisme dalam media melalui diskusi atau sorotan tajam dari public tidak dilakukan, maka media terlena dan tidak akan memperbaharui dirnya (baca : merasa paling benar). Selain masalah modal, uang, industri dan rendahnya mutu media dan mutu pembaca juga ada masalah lain yaitu rendahnya bahasan mengenai mutu media massa di kampus-kampus yang memiliki kajian jurnalistik. Saya memang belum memiliki data yang tepat mengenai hal ini, tapi jujur saja, ilmu jurnalistik merupakan ilmu baru yang ternyata belum establish karena pada dasarnya komunikasi dan jurnalistik merupakan bidang kajian yang terus berkembang. Itulah sebabnya mengapa begitu banyak kebingungan dan kegugupan ketika harus membahas masalah jurnalisme. Parahnya lagi, tidak semua wartawan lulusan jurnalistik dan tidak semua lulusan jurnalistik memilih profesi sebagai wartawan atau fotografer berita. Hasilnya ? Sebuah kompilasi berita yang simpang – siur. Sekedar bagi cerita saja, di kampus Jurnalistik (eh ini kondisi 3 tahun lalu ya, saat saya masih kuliah), mata kuliah fotografi juga tidak diberikan dengan maksimal dan dianggap sebagai mata kuliah tambahan. Laboratorium foto hanya ada satu (untuk 200 orang per angkatan) dan peralatannya masih sangat minim. Sementara secara teori juga dosen jarang sekali memperkenalkan soal konsep, masih bicara di tataran teknis yang sangat dasar tanpa tips dan trik ala FN (Coba ya para dosen itu buka FN sekali-sekali, mungkin ramuan kuliahnya akan lebih renyah). Salah? Tidak juga, mungkin memang itulah proses yang harus dijalani bangsa ini. Lagipula banyak orang bilang, rejeki (baca : pekerjaan) Tuhan yang mengatur, jadi jangan heran kalau tiba-tiba ada insinyur lulusan teknik nuklir dan fisika menjadi wartawan olahraga atau lulusan jurnalistik menjadi model (Ini possible, yaaaah, kan gak mungkin lulusan jurnalistik jadi teknisi nuklir hehehe). Indonesia juga baru merasakan kebebasan pers (lagi) sejak tahun 1998. Kalau dihitung, kan baru 7 tahun. Anak umur 7 tahun kan memang belum dewasa, makanya suka malu-maluin bapaknya hahaha. Kita biarkan? Ya jangan dong! kita tidak boleh berputus asa, kajian, kritikan dan usulan terhadap dunia jurnalisme harus terus dilakukan. Karena ini untuk kepentingan kita juga. Tentulah kita akan bangga jika kita bisa mengecap fungsi dari jurnasilme yang sehat. Ada komentar lain? Salam
Mas Widhi... bukannya saya merasa bahwa "cara lain" itu lebih mulia.. Sekarang ini banyak sekali media massa yang justru malah menggunakan cara blak2an dalam menyampaikan berita, mereka langsung to the point dalam menyampaikannya. Straight News kalok dalam Surat Kabar. Mengenai foto2 yang tells a story, rata2 koran pun lebih senang memuat foto2 yang sensasional daripada menampilkan foto2 yang biasa2 saja. jaman makin lama makin berkembang, saya setuju dengan Mas Yudhi, surat kabar mana sih yang sekarang tidak mengejar oplah terbitnya?? Malah, koran kampus saya itu yang sebenarnya gratis, ada kru dari Iklan Dan Promosi pingin media itu tidak gratis lagi alias dijual, dengan alasan staf IKROM kesulitan mencari dana. Saya diatas pingin menganalogikan bahwa di jaman yang serba bisnis oriented sekarang ini, sensasi itu paling bisa menjual !!! terlepas dari Vulgarisme, dimana ada sensasi maka disitu adalah ladang uang yang bisa kapan saja dikeruk oleh bos2 media besar di indonesia. Jadi, opini saya (moga2 ndak OOT)... Bahwa berita yang menjual adalah berita yang SENSASIONAL. sementara berita yang pengemasannya biasa2 saja dan datar, di masyarakat sekarang kurang begitu laku, ini menurut pendapat saya loh.. Monggo2 mawon yen enten sing nambahken..
Mbak Rieska,mas Rieva (pake v atau f sih?) terimakasih atas diskusinya, banyak perspektif dan pengetahuan baru saya dapatkan dari diskusi ini. Juga rekan2 FN-ers yang lain dengan segala opininya yang beda2 dan menarik. Pak Feri,makasih juga untuk mengangkat topik dari Pak Rio Helmi sebagai bahan thread ini. Tidak ada yang salah dan benar,semua orang bebas untuk mempunyai pendapat masing2,asalkan bisa menerima masukan dari pendapat orang lain dan menggunakannya untuk memperkaya pemikiran kita sendiri. Pak Rio Helmi sendiri di tulisannya tidak mengatakan bahwa mengambil dan menampilkan foto2 sensasional adalah salah,yang beliau tekankan adalah "keseimbangan" antara tanggungjawab pers dan etika. Mina-san honto ni arigatoo gozaimasita. Mata Sassin wo torimasyo. (Makasih banyak buat semua,ayo jepret lagi) :-h
Oleh: Aditya Budiprasetya, Didit (37512) 19 tahun yang lalu
Saya beberapa hari yg lalu melihat acara aktualitas Nova Vandaag di sebuah televisi Belanda, Nederland 3. Dalam rangka 50 tahun World Press Photo, diadakan berbagai macam aktifitas diantaranya pameran foto dan peluncuran buku 'Thing As They Are' di Fotografie Museum Amsterdam. Perbincangan mengenai ini bersama salah satu fotografer, redaktur koran NRC Handelsblad Belanda dan juga sekretaris WPP Vincent Mentzel. Saya mengutip sedikit dari perbincangan dia yg sekiranya ada hubungannya dgn topik ini. Ketika diperlihatkan foto gadis kecil Vietnam yg desa tempat tinggalnya baru saja dibom Napalm oleh Amerika dan berlari tanpa pakaian (foto Nick Ut, AP, 1972), Vincent Mentzel berkata, "... saat ini masyarakat sedang berubah, masa sekarang foto seperti ini akan banyak mengundang keluhan dan protes dimana seorang gadis kecil diperlihatkantanpa pakaian." Ketika ditanya siapa yg mengeluh dan protes, Vincent Mentzel menjawab, " Pembaca, pelihat foto. Saya mengerti dari seorang collega fotografer Reuter bahwa kita harus menghindari foto2 yg berbau 'nudity' jika ingin foto2nya diterima redaksi. Saya merasa kembali ke jaman 'Victoria' dimana beberapa jenis foto tidak dapat diperlihatkan. Foto saat ini harus diperlihatkan berbeda, diambil berbeda. Fotografer harus membuat foto seperti ini, lihat sekitar dan membuat foto yg tidak atau lebih sedikit menimbulkan kontroversi. Pembaca atau pelihat foto tidak ingin melihat foto yg menimbulkan kontroversi. Mereka berpikir bahwa mereka tidak mau melihat foto2 kontroversial, mereka ingin melihat gambar yg lain, ingin melihat gambar yg lebih sedikit menimbulkan kontroversi, lebih sedikit 'dilukai'." Ditunjukkan foto2 di penjara Abu Ghraib Irak dan foto tubuh tewas Theo van Gogh (sutradara film dan seniman Belanda yg ditembak mati setelah membuat film yg mendiskreditkan suatu agama) yg diambil orang2 amatir dgn kamera ponsel dan pada akhirnya dicetak di halaman utama koran Belanda, De Telegraaf. Vincent Mentzel ditanya apakah masih ada hal yg bisa diambil oleh fotografer, dia menjawab " cukup, lebih dari cukup, masih cukup banyak hal di sekitar yg bisa direkam. Pembaca ingin melihat gambar di sekitar kejadian, pembaca tidak ingin melihat tubuh tewas bergenang darah Pim Fortuyn (politikus ekstrem kanan Belanda yg ditembak mati setelah wawancara dgn salah satu radio), pembaca ingin melihat keadaan sekitarnya, bagaimana reaksi collega atau orang2 yg berdiri di studio radio itu, ingin melihat emosi orang2 di sekitar tempat kejadian. Itulah tendensi terhadap media yg disebabkan pembaca berpikir, jangan perlihatkan segalanya, semacam opportunisme. Fotografer membuat gambar, membalikkan badan, lihat kanan kiri dan juga melakukan/mengambil gambar lain. Saya kira itulah yg pada akhirnya dituntut dari seorang fotografer. Fotografer berpikir, saya sudah melakukan ini seumur hidup, saya membuat 'kecelakaan' dan melihat lebih lanjut dari 'kecelakaan' itu dan saya pikir ada moment2 yg tidak ingin diperlihatkan tetapi juga ada moment2 lain yg lebih 'memaksa' tanpa memperlihatkan mayat, misalnya, sesuatu yg lebih 'gembira/ceria'. Fotografer bisa mengambil satu langkah mundur, walaupun demikian dia harus membuat suatu gambar." Mungkin perubahan yg terjadi tidak selalu sama tiap negara, namun sedikit banyak perubahan itu terjadi. Foto seorang wanita yg berduka akibat tsunami yg memenangkan World Press Photo 2004 (Arko Datta, India, Reuters, 2004). Dia menulis bahwa Datta harus mengambil foto itu dengan cepat sebelum mayatnya terbawa arus laut. Mayat yg mengenaskan itu akan mengambil perhatian lebih banyak daripada subjek yg berduka dalam gambar sehingga dia memutuskan untuk memasukkan tangan dari mayat itu. Foto seorang tahanan Irak yg kepalanya ditutup sedang menenangkan anaknya yg memenangkan World Press Photo 2003 (Jean-Marc Bouju, France, AP, 2003). Tidak selalu foto yg 'kontroversial' menyentuh, kedua foto diatas sedikit dari banyak contoh tanpa memperlihatkan sesuatu yg kontroversial namun tetap atau bahkan lebih menyentuh daripada sebuah foto mayat ato korban kekerasan misalnya.Vincent Mentzel.Fotografie Museum Amsterdam, foam.World Press Photo.Gadis Vietnam 1972.Tahanan Irak 2003.Wanita berduka tsunami 2004.
Aduuh... menarik banget postingnya :D. Ayo ayo dari yang lain ada lagi engga?
Oleh: Aryono Huboyo DJATI (127032) 19 tahun yang lalu
Fer, thx for sharing/ Aditya,..... ulasannya bermutu deh ihhh, saya ingin sekali berkenalan langsung dengan anda.
Oleh: L H Kekek A D H (6241) 19 tahun yang lalu
Widhi, saya setuju dengan ulasan tentang tekanan "keseimbangan" antara tanggungjawab pers dan etika. Didit, thanks utk infonya. Waktu saya akses langsung, memang maknanya kena.
Rasanya diskusi ini lebih baik dipindah ke forum jurnalistik, pertimbangannya biar tidak tnggelam oleh hiruk-pikuk bincang bebas :)